"

a

Kamis, 10 November 2011

PP No 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut

Goodfather Andries Latjandu (c) 2011
 

Dasar Hukum

  1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan UNITED NATIONS CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati;
  2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan;
  3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut;
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom;
  6. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 8/M Tahun 2005;
  7. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia;
  8. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2005;
  9. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.24/MEN/2002 tentang Tata Cara dan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan Departemen Kelautan dan Kelautan.
Undang Undang No. 23 Tahun 1997
Tentang : Pengelolaan Lingkungan Hidup
Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor : 23 TAHUN 1997 (23/1997)
Tanggal : 19 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA)
Sumber : LN 1997/68; TLN NO.3699
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan
Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang
bagi kehidupan dalam segala aspek dan matranya sesuai dengan
Wawasan Nusantara;
b. bahwa dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk
memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam Undang-
Undang Dasar 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup
berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan
kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan
memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa
depan;
c. bahwa dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup
untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan
hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang
terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup;
d. bahwa penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat
kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta
perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan
hidup;
e. bahwa kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan
pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang demikian rupa
sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215) perlu disempurnakan untuk
mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup;
f. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut pada huruf a, b, c, d, dan
e di atas perlu ditetapkan Undang-undang tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya,
yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain;
2. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan
penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan,
pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup;
3. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan
hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk
menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa
kini dan generasi masa depan;
4. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan
kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam
membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan
hidup;
5. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk
memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup;
6. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup
untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain;
7. Pelestarian daya dukung lingkungan hidup adalah rangkaian upaya
untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap tekanan
perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu
kegiatan, agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan
makhluk hidup lain;
8. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup
untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk
atau dimasukkan ke dalamnya;
9. Pelestarian daya tampung lingkungan hidup adalah rangkaian upaya
untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat,
energi, dan/atau komponen lain yang dibuang ke dalamnya;
10. Sumber daya adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber
daya manusia, sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati, dan
sumber daya buatan;
11. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk
hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau
unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber
daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup;
12. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak
dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya;
13. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas
perubahan sifat fisik dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat
ditenggang;
14. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau
hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi
dalam menunjang pembangunan berkelanjutan;
15. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam
tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan
sumber daya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan
ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
nilai serta keanekaragamannya;
16 Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan;
17. Bahan berbahaya dan beracun adalah setiap bahan yang karena sifat
atau konsentrasi, jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan
hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup
lain;
18. Limbah bahan berbahaya dan beracun adalah sisa usaha dan/atau
kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang
karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau
merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan
lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta
makhluk hidup lain;
19. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau
lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup;
20. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada
lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau
kegiatan;
21. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup adalah kajian mengenai
dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau
kegiatan;
22. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terbentuk
atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat yang
tujuan dan kegiatannya di bidang lingkungan hidup;
23. Audit lingkungan hidup adalah suatu proses evaluasi yang dilakukan
oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk menilai tingkat
ketaatan terhadap persyaratan hukum yang berlaku dan/atau
kebijaksanaan dan standar yang ditetapkan oleh penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan;
24. Orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang,
dan/atau badan hukum;
25. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan
hidup.
Pasal 2
Ruang lingkup lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang, tempat Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berWawasan Nusantara dalam
melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat, dan yurisdiksinya.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN SASARAN
Pasal 3
Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung
jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pasal 4
Sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah :
a. tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara
manusia dan lingkungan hidup;
b. terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang
memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup;
c. terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa
depan;
d. tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana;
f. terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak
usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
BAB III
HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT
Pasal 5
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat.
(2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang
berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka
pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Pasal 6
(1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan
hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan
perusakan.
(2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban
memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan
lingkungan hidup.
Pasal 7
(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya
untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1) di atas, dilakukan dengan cara:
(1) meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan
kemitraan;
(2) menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan
masyarakat;
(3) menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk
melakukan pengawasan sosial;
(4) memberikan saran pendapat;
(5) menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan.
BAB IV
WEWENANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 8
(1) Sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturannya
ditentukan oleh Pemerintah.
(2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pemerintah:
a. mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka
pengelolaan lingkungan hidup;
b. mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan
lingkungan hidup, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam,
termasuk sumber daya genetika;
c. mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang
dan/atau subjek hukum lainnya serta perbuatan hukum
terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk
sumber daya genetika;
d. mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial;
e. mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi
lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
(1) Pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan
lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan
nilai-nilai agama, adat istiadat, dan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat.
(2) Pengelolaan lingkungan hidup, dilaksanakan secara terpadu oleh
instansi pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan tanggung jawab
masing-masing, masyarakat, serta pelaku pembangunan lain dengan
memperhatikan keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan
kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan
penataan ruang, perlindungan sumber daya alam non hayati,
perlindungan sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan
perubahan iklim.
(4) Keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan nasional
pengelolaan lingkungan hidup, sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dikoordinasi oleh Menteri.
Pasal 10
Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup Pemerintah berkewajiban:
(1) mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan
kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan dalam
pengelolaan lingkungan hidup;
(2) mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan
kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan hidup;
(3) mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan
kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan Pemerintah dalam
upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
(4) mengembangkan dan menerapkan kebijaksanaan nasional pengelolaan
lingkungan hidup yang menjamin terpeliharanya daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup;
(5) mengembangkan dan menerapkan perangkat yang bersifat preemtif,
preventif, dan proaktif dalam upaya pencegahan penurunan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
(6) memanfaatkan dan mengembangkan teknologi yang akrab lingkungan
hidup;
(7) menyelenggarakan penelitian dan pengembangan di bidang
lingkungan hidup;
(8) menyediakan informasi lingkungan hidup dan menyebarluaskannya
kepada masyarakat;
(9) memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang berjasa di
bidang lingkungan hidup.
Pasal 11
(1) Pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional dilaksanakan
secara terpadu oleh perangkat kelembagaan yang dikoordinasi oleh
Menteri.
(2) Ketentuan mengenai tugas, fungsi, wewenang dan susunan organisasi
serta tata kerja kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Pasal 12
(1) Untuk mewujudkan keterpaduan dan keserasian pelaksanaan
kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup,
Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dapat:
a. melimpahkan wewenang tertentu pengelolaan lingkungan hidup
kepada perangkat di wilayah;
b. mengikutsertakan peran Pemerintah Daerah untuk membantu
Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan
hidup di daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 13
(1) Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah
dapat menyerahkan sebagian urusan kepada Pemerintah Daerah
menjadi urusan rumah tangganya.
(2) Penyerahan urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 14
(1) Untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap usaha
dan/atau kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.
(2) Ketentuan mengenai baku mutu lingkungan hidup, pencegahan dan
penanggulangan pencemaran serta pemulihan daya tampungnya
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Ketentuan mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,
pencegahan dan penanggulangan kerusakan serta pemulihan daya
dukungnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
(1) Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup,
wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
(2) Ketentuan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan yang
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta tata cara penyusunan dan
penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan
pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatan.
(2) Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat menyerahkan pengelolaan limbah tersebut kepada
pihak lain.
(3) Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 17
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan
pengelolaan bahan berbahaya dan beracun.
(2) Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun meliputi: menghasilkan,
mengangkut, mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan/atau
membuang.
(3) Ketentuan mengenai pengelolaan bahan berbahaya dan beracun diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PERSYARATAN PENAATAN LINGKUNGAN HIDUP
Bagian Pertama Perizinan
Pasal 18
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan
penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai
dampak lingkungan hidup untuk memperoleh izin melakukan usaha
dan/atau kegiatan.
(2) Izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Dalam izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan
persyaratan dan kewajiban untuk melakukan upaya pengendalian
dampak lingkungan hidup.
Pasal 19
(1) Dalam menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib
diperhatikan:
a. rencana tata ruang;
b. pendapat masyarakat;
c. pertimbangan dan rekomendasi pejabat yang berwenang yang
berkaitan dengan usaha dan/atau kegiatan tersebut.
(2) Keputusan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib diumumkan.
Pasal 20
(1) Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan
pembuangan limbah ke media lingkungan hidup.
(2) Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari luar
wilayah Indonesia ke media lingkungan hidup Indonesia.
(3) Kewenangan menerbitkan atau menolak permohonan izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada Menteri.
(4) Pembuangan limbah ke media lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi pembuangan
yang ditetapkan oleh Menteri.
(5) Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 21
Setiap orang dilarang melakukan impor limbah bahan berbahaya dan
beracun.
Bagian Kedua Pengawasan
Pasal 22
(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Menteri dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan
pengawasan.
(3) Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah
Daerah, Kepala Daerah menetapkan pejabat yang berwenang
melakukan pengawasan.
Pasal 23
Pengendalian dampak lingkungan hidup sebagai alat pengawasan dilakukan
oleh suatu lembaga yang dibentuk khusus untuk itu oleh Pemerintah.
Pasal 24
(1) Untuk melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 berwenang melakukan pemantauan, meminta
keterangan, membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat
catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, mengambil
contoh, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau alat
transportasi, serta meminta keterangan dari pihak yang
bertanggungjawab atas usaha dan/atau kegiatan.
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi permintaan
petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
(3) Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda
pengenal serta wajib memperhatikan situasi dan kondisi tempat
pengawasan tersebut.
Bagian Ketiga Sanksi Administrasi
Pasal 25
(1) Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan
pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta
menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran,
melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau
pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-undang.
(2) Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diserahkan
kepada Bupati/Walikotamadya/Kepala Daerah Tingkat II dengan
Peraturan Daerah Tingkat I.
(3) Pihak ketiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan
kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan paksaan
pemerintahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Paksaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), didahului dengan surat perintah dari pejabat yang berwenang.
(5) Tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diganti dengan
pembayaran sejumlah uang tertentu.
Pasal 26
(1) Tata cara penetapan beban biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 ayat (1) dan ayat (5) serta penagihannya ditetapkan dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) belum dibentuk, pelaksanaannya menggunakan upaya
hukum menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 27
(1) Pelanggaran tertentu dapat dijatuhi sanksi berupa pencabutan izin
usaha dan/atau kegiatan.
(2) Kepala Daerah dapat mengajukan usul untuk mencabut izin usaha
dan/atau kegiatan kepada pejabat yang berwenang.
(3) Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada
pejabat yang berwenang untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan
karena merugikan kepentingannya.
Bagian Keempat Audit Lingkungan Hidup
Pasal 28
Dalam rangka peningkatan kinerja usaha dan/atau kegiatan, Pemerintah
mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan
audit lingkungan hidup.
Pasal 29
(1) Menteri berwenang memerintahkan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup apabila
yang bersangkutan menunjukkan ketidakpatuhan terhadap ketentuan
yang diatur dalam Undang-undang ini.
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang diperintahkan untuk
melakukan audit lingkungan hidup wajib melaksanakan perintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak
melaksanakan perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri
dapat melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga untuk
melaksanakan audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan.
(4) Jumlah beban biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
oleh Menteri.
(5) Menteri mengumumkan hasil audit lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
BAB VII
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
Bagian Pertama Umum
Pasal 30
(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela
para pihak yang bersengketa.
(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup
sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
(3) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di
luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau
para pihak yang bersengketa.
Bagian Kedua Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup
di Luar Pengadilan
Pasal 31
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan
untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi
dan/atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya
atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Pasal 32
Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dapat digunakan jasa pihak ketiga,
baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang
memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu
menyelesaikan sengketa lingkungan hidup.
Pasal 33
(1) Pemerintah dan/atau masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia
jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat
bebas dan tidak berpihak.
(2) Ketentuan mengenai penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa
lingkungan hidup diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup
Melalui Pengadilan
Paragraf 1: Ganti Rugi
Pasal 34
(1) Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang
lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan
tindakan tertentu.
(2) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang
paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu
tersebut.
Paragraf 2 :Tanggung Jawab Mutlak
Pasal 35
(1) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan
kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun,
dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun,
bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan,
dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika
pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup.
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari
kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di
bawah ini:
a. adanya bencana alam atau peperangan; atau
b. adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau
c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
(3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga
bertanggung jawab membayar ganti rugi.
Paragraf 3 : Daluwarsa untuk Pengajuan Gugatan
Pasal 36
(1) Tenggang daluwarsa hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan
mengikuti tenggang waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan
Hukum Acara Perdata yang berlaku, dan dihitung sejak saat korban
mengetahui adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup.
(2) Ketentuan mengenai tenggang daluwarsa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku terhadap pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang
menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan
limbah bahan berbahaya dan beracun.
Paragraf 4 : Hak Masyarakat dan Organisasi Lingkungan Hidup
Untuk Mengajukan Gugatan
Pasal 37
(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan
dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah
lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat.
(2) Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa
sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka
instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan
hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 38
(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkungan
hidup sesuai dengan pola kemitraan, organisasi lingkungan hidup
berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi
lingkungan hidup.
(2) Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa
adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
(3) Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi persyaratan :
a. berbentuk badan hukum atau yayasan;
b. dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang
bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan
didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan
pelestarian fungsi lingkungan hidup;
c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
Pasal 39
Tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang,
masyarakat, dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum
Acara Perdata yang berlaku.
BAB VIII
PENYIDIKAN
Pasal 40
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengelolaan
lingkungan hidup, diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana
yang berlaku.
(2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang
lingkungan hidup;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum
yang diduga melakukan tindak pidana di bidang lingkungan
hidup;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan
hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang
lingkungan hidup;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan
dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang
lingkungan hidup;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga
terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain
serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil
pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak
pidana di bidang lingkungan hidup;
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang lingkungan hidup.
(3) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil
penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum
melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(5) Penyidikan tindak pidana lingkungan hidup di perairan Indonesia dan
Zona Ekonomi Ekslusif dilakukan oleh penyidik menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 41
(1) Barang siapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan
perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh
tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana
diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun dan
denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah).
Pasal 42
(1) Barang siapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang
mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup,
diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda
paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 43
(1) Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan
yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi,
dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas
atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan,
melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut,
menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya,
padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa
perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum
atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama
enam tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah).
(2) Diancam dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), barang siapa yang dengan sengaja
memberikan informasi palsu atau menghilangkan atau
menyembunyikan atau merusak informasi yang diperlukan dalam
kaitannya dengan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa
perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum
atau nyawa orang lain.
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun dan
denda paling banyak Rp450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta
rupiah).
Pasal 44
(1) Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan
yang berlaku, karena kealpaannya melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43, diancam dengan pidana penjara paling lama
tiga tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda
paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 45
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau
atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga.
Pasal 46
(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan
oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan
atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana
serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan,
yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang
memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang
bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap
kedua-duanya.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan
oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan
atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar
hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak
dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan
atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana
dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang
bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang
tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan
lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.
(3) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan,
perserikatan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan
penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di
tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan
yang tetap.
(4) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan,
perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan
diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya
pengurus menghadap sendiri di pengadilan.
Pasal 47
Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana
lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa:
(1) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
(2) penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau
(3) perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
(4) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
(5) meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
(6) menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga
tahun.
Pasal 48
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini adalah kejahatan.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 49
(1) Selambat-lambatnya lima tahun sejak diundangkannya Undangundang
ini setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin,
wajib menyesuaikan menurut persyaratan berdasarkan Undangundang
ini.
(2) Sejak diundangkannya Undang-undang ini dilarang menerbitkan izin
usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan limbah bahan berbahaya
dan beracun yang diimpor.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 50
Pada saat berlakunya Undang-undang ini semua peraturan perundangundangan
yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup yang telah
ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti
berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 51
Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 4
Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3215) dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 52
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 19 September 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 September 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
MOERDIONO
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
I. UMUM
(1) Lingkungan hidup Indonesia yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha
Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan karunia dan
rahmatNya yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya
agar dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat
dan bangsa Indonesia serta makhluk hidup lainnya demi kelangsungan
dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri.
Pancasila, sebagai dasar dan falsafah negara, merupakan kesatuan
yang bulat dan utuh yang memberikan keyakinan kepada rakyat dan
bangsa Indonesia bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai jika
didasarkan atas keselarasan, keserasian, dan keseimbangan, baik
dalam hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa maupun
manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia
sebagai pribadi, dalam rangka mencapai kemajuan lahir dan
kebahagiaan batin. Antara manusia, masyarakat, dan lingkungan
hidup terdapat hubungan timbal balik, yang selalu harus dibina dan
dikembangkan agar dapat tetap dalam keselarasan, keserasian, dan
keseimbangan yang dinamis.
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional
mewajibkan agar sumber daya alam dipergunakan untuk sebesarbesar
kemakmuran rakyat.
Kemakmuran rakyat tersebut haruslah dapat dinikmati generasi masa
kini dan generasi masa depan secara berkelanjutan.
Pembangunan sebagai upaya sadar dalam mengolah dan
memanfaatkan sumber daya alam untuk meningkatkan kemakmuran
rakyat, baik untuk mencapai kemakmuran lahir maupun untuk
mencapai kepuasan batin. Oleh karena itu, penggunaan sumber daya
alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan
hidup.
(2) Lingkungan hidup dalam pengertian ekologi tidak mengenal batas
wilayah, baik wilayah negara maupun wilayah administratif. Akan
tetapi, lingkungan hidup yang berkaitan dengan pengelolaan harus
jelas batas wilayah wewenang pengelolaannya. Lingkungan yang
dimaksud adalah lingkungan hidup Indonesia.
Secara hukum, lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang tempat
negara Republik Indonesia melaksanakan kedaulatan dan hak
berdaulat serta yurisdiksinya. Dalam hal ini lingkungan hidup
Indonesia tidak lain adalah wilayah, yang menempati posisi silang
antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca
serta musim yang memberikan kondisi alam dan kedudukan dengan
peranan strategis yang tinggi nilainya sebagai tempat rakyat dan
bangsa Indonesia menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara dalam segala aspeknya. Dengan demikian,
wawasan dalam menyelenggarakan pengelolaan lingkungan hidup
Indonesia adalah Wawasan Nusantara.
(3) Lingkungan hidup Indonesia sebagai suatu ekosistem terdiri atas
berbagai subsistem, yang mempunyai aspek sosial, budaya, ekonomi,
dan geografi dengan corak ragam yang berbeda yang mengakibatkan
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang berlainan.
Keadaan yang demikian memerlukan pembinaan dan pengembangan
lingkungan hidup yang didasarkan pada keadaan
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup akan meningkatkan
keselarasan, keserasian, dan keseimbangan subsistem, yang berarti
juga meningkatkan ketahanan subsistem itu sendiri. Dalam pada itu,
pembinaan dan pengembangan subsistem yang satu akan
mempengaruhi subsistem yang lain, yang pada akhirnya akan
mempengaruhi ketahanan ekosistem secara keseluruhan. Oleh karena
itu, pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu
sistem dengan keterpaduan sebagai ciri utamanya. Untuk itu,
diperlukan suatu kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup
yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat
sampai ke daerah.
(4) Pembangunan memanfaatkan secara terus-menerus sumber daya
alam guna meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat.
Sementara itu, ketersediaan sumber daya alam terbatas dan tidak
merata, baik dalam jumlah maupun dalam kualitas, sedangkan
permintaan akan sumber daya alam tersebut makin meningkat
sebagai akibat meningkatnya kegiatan pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan penduduk yang makin meningkat dan beragam. Di pihak
lain, daya dukung lingkungan hidup dapat terganggu dan daya
tampung lingkungan hidup dapat menurun.
Kegiatan pembangunan yang makin meningkat mengandung risiko
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sehingga struktur dan
fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat
rusak. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup itu akan
merupakan beban sosial, yang pada akhirnya masyarakat dan
pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya.
Terpeliharanya keberlanjutan fungsi lingkungan hidup merupakan
kepentingan rakyat sehingga menuntut tanggung jawab, keterbukaan,
dan peran anggota masyarakat, yang dapat disalurkan melalui orang
perseorangan, organisasi lingkungan hidup, seperti lembaga swadaya
masyarakat, kelompok masyarakat adat, dan lain-lain, untuk
memelihara dan meningkatkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup yang menjadi tumpuan keberlanjutan pembangunan.
Pembangunan yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber
daya alam, menjadi sarana untuk mencapai keberlanjutan
pembangunan dan menjadi jaminan bagi kesejahteraan dan mutu
hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Oleh karena itu,
lingkungan hidup Indonesia harus dikelola dengan prinsip melestarikan
fungsi lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang untuk
menunjang pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup bagi peningkatan kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa
kini dan generasi masa depan.
(5) Arah pembangunan jangka panjang Indonesia adalah pembangunan
ekonomi dengan bertumpukan pada pembangunan industri, yang di
antaranya memakai berbagai jenis bahan kimia dan zat radioaktif. Di
samping menghasilkan produk yang bermanfaat bagi masyarakat,
industrialisasi juga menimbulkan ekses, antara lain dihasilkannya
limbah bahan berbahaya dan beracun, yang apabila dibuang ke dalam
media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan hidup,
kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Secara global, ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan
kualitas hidup manusia. Pada kenyataannya, gaya hidup masyarakat
industri ditandai oleh pemakaian produk berbasis kimia telah
meningkatkan produksi limbah bahan berbahaya dan beracun. Hal itu
merupakan tantangan yang besar terhadap cara pembuangan yang
aman dengan risiko yang kecil terhadap lingkungan hidup, kesehatan,
dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Menyadari hal tersebut di atas, bahan berbahaya dan beracun beserta
limbahnya perlu dikelola dengan baik. Yang perlu diperhatikan adalah
bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus bebas dari
buangan limbah bahan berbahaya dan beracun dari luar wilayah
Indonesia.
(6) Makin meningkatnya upaya pembangunan menyebabkan akan makin
meningkat dampaknya terhadap lingkungan hidup. Keadaan ini
mendorong makin diperlukannya upaya pengendalian dampak
lingkungan hidup sehingga risiko terhadap lingkungan hidup dapat
ditekan sekecil mungkin.
Upaya pengendalian dampak lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan
dari tindakan pengawasan agar ditaatinya ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Suatu perangkat
hukum yang bersifat preventif berupa izin melakukan usaha dan/atau
kegiatan lain. Oleh karena itu, dalam izin harus dicantumkan secara
tegas syarat dan kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan lainnya. Apa yang
dikemukakan tersebut di atas menyiratkan ikut sertanya berbagai
instansi dalam pengelolaan lingkungan hidup sehingga perlu
dipertegas batas wewenang tiap-tiap instansi yang ikut serta di bidang
pengelolaan lingkungan hidup.
(7) Sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai
negara hukum, pengembangan sistem pengelolaan lingkungan hidup
sebagai bagian pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup harus diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan
menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan
lingkungan hidup. Dasar hukum itu dilandasi oleh asas hukum
lingkungan hidup dan penaatan setiap orang akan norma hukum
lingkungan hidup yang sepenuhnya berlandaskan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
No. 12, Tambahan Lembaran Negara No. 3215) telah menandai awal
pengembangan perangkat hukum sebagai dasar bagi upaya
pengelolaan lingkungan hidup Indonesia sebagai bagian integral dari
upaya pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup. Dalam kurun waktu lebih dari satu dasawarsa sejak
diundangkannya Undang-undang tersebut, kesadaran lingkungan
hidup masyarakat telah meningkat dengan pesat, yang ditandai antara
lain oleh makin banyaknya ragam organisasi masyarakat yang
bergerak di bidang lingkungan hidup selain lembaga swadaya
masyarakat. Terlihat pula peningkatan kepeloporan masyarakat dalam
pelestarian fungsi lingkungan hidup sehingga masyarakat tidak hanya
sekedar berperan serta, tetapi juga mampu berperan secara nyata.
Sementara itu, permasalahan hukum lingkungan hidup yang tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat memerlukan pengaturan dalam
bentuk hukum demi menjamin kepastian hukum. Di sisi lain,
perkembangan lingkungan global serta aspirasi internasional akan
makin mempengaruhi usaha pengelolaan lingkungan hidup Indonesia.
Dalam mencermati perkembangan keadaan tersebut, dipandang perlu
untuk menyempurnakan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-undang ini memuat norma hukum lingkungan hidup. Selain itu,
Undang-undang ini akan menjadi landasan untuk menilai dan menyesuaikan
semua peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang
lingkungan hidup yang berlaku, yaitu peraturan perundang-undangan
mengenai pengairan, pertambangan dan energi, kehutanan, konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, industri, permukiman, penataan
ruang, tata guna tanah, dan lain-lain.
Peningkatan pendayagunaan berbagai ketentuan hukum, baik hukum
administrasi, hukum perdata maupun hukum pidana, dan usaha untuk
mengefektifkan penyelesaian sengketa lingkungan hidup secara alternatif,
yaitu penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan untuk
mencapai kesepakatan antarpihak yang bersengketa. Di samping itu, perlu
pula dibuka kemungkinan dilakukannya gugatan perwakilan. Dengan cara
penyelesaian
sengketa lingkungan hidup tersebut diharapkan akan meningkatkan ketaatan
masyarakat terhadap sistem nilai tentang betapa pentingnya pelestarian dan
pengembangan kemampuan lingkungan hidup dalam kehidupan manusia
masa kini dan kehidupan manusia masa depan.
Sebagai penunjang hukum administrasi, berlakunya ketentuan hukum pidana
tetap memperhatikan asas subsidiaritas, yaitu bahwa hukum pidana
hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi
administrasi dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa
lingkungan hidup tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat
dan/atau akibat perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya
menimbulkan keresahan masyarakat. Dengan mengantisipasi kemungkinan
semakin munculnya tindak pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi,
dalam Undang-undang ini diatur pula pertanggungjawaban korporasi.
Dengan demikian, semua peraturan perundang-undangan tersebut di atas
dapat terangkum dalam satu sistem hukum lingkungan hidup Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai angka 25
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Berdasarkan asas tanggung jawab negara, di satu sisi, negara menjamin
bahwa pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi
masa kini maupun generasi masa depan. Di lain sisi, negara mencegah
dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dalam wilayah
yurisdiksinya yang menimbulkan kerugian terhadap wilayah yurisdiksi
negara lain, serta melindungi negara terhadap dampak kegiatan di luar
wilayah negara. Asas keberlanjutan mengandung makna setiap orang
memikul kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang,
dan terhadap sesamanya dalam satu generasi. Untuk terlaksananya
kewajiban dan tanggung jawab tersebut, maka kemampuan lingkungan
hidup, harus dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan lingkungan hidup
menjadi tumpuan terlanjutkannya pembangunan.
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hak atas informasi lingkungan hidup merupakan suatu konsekuensi logis dari
hak berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berlandaskan pada
asas kerterbukaan. Hak atas informasi lingkungan hidup akan meningkatkan
nilai dan efektivitas peranserta dalam pengelolaan lingkungan hidup, di
samping akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan
haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Informasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat
berupa data, keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan
pengelolaan lingkungan hidup yang menurut sifat dan tujuannya memang
terbuka untuk diketahui masyarakat, seperti dokumen analisis mengenai
dampak lingkungan hidup, laporan dan evaluasi hasil pemantauan
lingkungan hidup, baik pemantuan penaatan maupun pemantauan
perubahan kualitas lingkungan hidup, dan rencana tata ruang.
Ayat (3)
Peran sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini meliputi peran dalam proses
pengambilan keputusan, baik dengan cara mengajukan keberatan, maupun
dengar pendapat atau dengan cara lain yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan. Peran tersebut dilakukan antara lain dalam proses
penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau perumusan
kebijakan lingkungan hidup. Pelaksanaannya didasarkan pada prinsip
keterbukaan. Dengan keterbukaan dimungkinkan masyarakat ikut
memikirkan dan memberikan pandangan serta pertimbangan dalam
pengambilan keputusan di bidang pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 6
Ayat (1)
Kewajiban setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak terlepas
dari kedudukannya sebagai anggota masyarakat mencerminkan harkat
manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Kewajiban tersebut
mengandung makna bahwa setiap orang turut berperanserta dalam upaya
memelihara lingkungan hidup. Misalnya, peranserta dalam mengembangkan
budaya bersih lingkungan hidup, kegiatan penyuluhan dan bimbingan di
bidang lingkungan hidup.
Ayat (2)
Informasi yang benar dan akurat itu dimaksudkan untuk menilai ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Kemandirian dan keberdayaan masyarakat merupakan prasyarat untuk
menumbuhkan kemampuan masyarakat sebagai pelaku dalam pengelolaan
lingkungan hidup bersama dengan pemerintah dan pelaku pembangunan
lainnya.
Huruf b
Meningkatnya kemampuan dan kepeloporan masyarakat akan meningkatkan
efektifitas peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup
Huruf c
Meningkatnya ketanggapsegeraan masyarakat akan semakin menurunkan
kemungkinan terjadinya dampak negatif.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Dengan meningkatnya ketanggapsegeraan akan meningkatkan kecepatan
pemberian informasi tentang suatu masalah lingkungan hidup sehingga
dapat segera ditindak lanjuti.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Kegiatan yang mempunyai dampak sosial merupakan kegiatan yang
berpengaruh terhadap kepentingan umum, baik secara kultural maupun
secara struktural.
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Dalam rangka penyusunan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan
hidup dan penataan ruang wajib diperhatikan secara rasional dan
proporsional potensi, aspirasi, dan kebutuhan serta nilai-nilai yang tumbuh
dan berkembang di masyarakat. Misalnya, perhatian terhadap masyarakat
adat yang hidup dan kehidupannya bertumpu pada sumber daya alam yang
terdapat di sekitarnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 10
Huruf a
Yang dimaksud dengan pengambil keputusan dalam ketentuan ini adalah
pihak-pihak yang berwenang yaitu Pemerintah, masyarakat dan pelaku
pembangunan lainnya.
Huruf b
Kegiatan ini dilakukan melalui penyuluhan, bimbingan, serta pendidikan dan
pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya
manusia.
Huruf c
Peran masyarakat dalam Pasal ini mencakup keikutsertaan, baik dalam
upaya maupun dalam proses pengambilan keputusan tentang pelestarian
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Dalam rangka peran
masyarakat dikembangkan kemitraan para pelaku pengelolaan lingkungan
hidup, yaitu pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat termasuk antara lain
lembaga swadaya masyarakat dan organisasi profesi keilmuan.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan perangkat yang bersifat preemtif
adalah tindakan yang dilakukan pada tingkat pengambilan keputusan dan
perencanaan, seperti tata ruang dan analisis dampak lingkungan hidup.
Adapun preventif adalah tindakan tingkatan pelaksanaan melalui penataan
baku mutu limbah dan/atau instrumen ekonomi. Proaktif adalah tindakan
pada tingkat produksi dengan menerapkan standarisasi lingkungan hidup,
seperti ISO 14000.
Perangkat pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat preemtif, preventif
dan proaktif misalnya adalah pengembangan dan penerapan teknologi akrab
lingkungan hidup, penerapan asuransi lingkungan hidup dan audit lingkungan
hidup yang dilakukan secara sukarela oleh penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan guna meningkatkan kinerja.
Huruf f sampai huruf i
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Lingkup pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup pada dasarnya meliputi
berbagai sektor yang menjadi tanggung jawab berbagai departemen dan
instansi pemerintah. Untuk menghindari tumpang tindih wewenang dan
benturan kepentingan perlu adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan
simplifikasi melalui perangkat kelembagaan yang dikoordinasi oleh Menteri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Negara Kesatuan Republik Indonesia kaya akan keaneragaman potensi
sumber daya alam hayati dan non-hayati, karakteristik kebhinekaan budaya
masyarakat, dan aspirasi dapat menjadi modal utama pembangunan
nasional. Untuk itu guna mencapai keterpaduan dan kesatuan pola pikir, dan
gerak langkah yang menjamin terwujudnya pengelolaan lingkungan hidup
secara berdayaguna dan berhasilguna yang berlandaskan Wawasan
Nusantara, maka Pemerintah Pusat dapat menetapkan wewenang tertentu
dengan memperhatikan situasi dan kondisi daerah baik potensi alam maupun
kemampuan daerah, kepada perangkat instansi pusat yang ada di daerah
dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi.
Huruf b
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah Tingkat I dapat menugaskan
kepada Pemerintah Daerah Tingkat II untuk berperan dalam pelaksanaan
kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup sebagai tugas pembantuan.
Melalui tugas pembantuan ini maka wewenang, pembiayaan, peralatan, dan
tanggung jawab tetap berada pada pemerintah yang menugaskannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Dengan memperhatikan kemampuan, situasi dan kondisi daerah, Pemerintah
Pusat dapat menyerahkan urusan di bidang lingkungan hidup kepada daerah
menjadi wewenang, tugas, dan tanggung jawab Pemerintah Daerah
berdasarkan asas desentralisasi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1) sampai ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Analisis mengenai dampak lingkungan hidup di satu sisi merupakan bagian
studi kelayakan untuk melaksanakan suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan, di sisi lain merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk
mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Berdasarkan analisis
ini dapat diketahui secara lebih jelas dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup, baik dampak negatif maupun dampak positif yang akan
timbul dari usaha dan/atau kegiatan sehingga dapat dipersiapkan langkah
untuk menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak positif.
Untuk mengukur atau menentukan dampak besar dan penting tersebut di
antaranya digunakan kriteria mengenai :
a besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha
dan/atau kegiatan;
b luas wilayah penyebaran dampak;
c intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena
dampak;
e sifat kumulatif dampak;
f berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Pengelolaan limbah merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup
penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan
limbah termasuk penimbunan hasil pengolahan tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Kewajiban untuk melakukan pengelolaan dimaksud merupakan upaya untuk
mengurangi terjadinya kemungkinan risiko terhadap lingkungan hidup
berupa terjadinya pencemaran atau perusakan lingkungan hidup, mengingat
bahan berbahaya dan beracun mempunyai potensi yang cukup besar untuk
menimbulkan efek negatif.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Contoh izin yang dimaksud antara lain izin kuasa pertambangan untuk usaha
di bidang pertambangan, atau izin usaha industri untuk usaha di bidang
industri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan harus ditegaskan kewajiban
yang berkenaan dengan penaatan terhadap ketentuan mengenai pengelolaan
lingkungan hidup yang harus dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan dalam melaksanakan usaha dan/atau kegiatannya. Bagi
usaha dan/atau kegiatan yang diwajibkan untuk membuat atau
melaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan hidup, maka rencana
pengelolaan dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang wajib
dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan harus
dicantumkan dan dirumuskan dengan jelas dalam izin melakukan usaha
dan/atau kegiatan. Misalnya kewajiban untuk mengolah limbah, syarat mutu
limbah yang boleh dibuang ke dalam media lingkungan hidup, dan kewajiban
yang berkaitan dengan pembuangan limbah, seperti kewajiban melakukan
swapantau dan kewajiban untuk melaporkan hasil swapantau tersebut
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan hidup. Apabila suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku diwajibkan melaksanakan
analisis dampak lingkungan hidup, maka persetujuan atas analisis mengenai
dampak lingkungan hidup tersebut harus diajukan bersama dengan
permohonan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengumuman izin melakukan usaha dan/atau kegiatan merupakan
pelaksanaan atas keterbukaan pemerintahan. Pengumuman izin melakukan
usaha dan/atau kegiatan tersebut memungkinkan peranserta masyarakat
khususnya yang belum menggunakan kesempatan dalam prosedur
keberatan, dengar pendapat, dan lain-lain dalam proses pengambilan
keputusan izin.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Suatu usaha dan/atau kegiatan akan menghasilkan limbah. Pada
umumnya limbah ini harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke
media lingkungan hidup sehingga tidak menimbulkan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup. Dalam hal tertentu, limbah
yang dihasilkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan itu dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku suatu produk. Namun dari proses
pemanfaatan tersebut akan menghasilkan limbah, sebagai residu yang
tidak dapat dimanfaatkan kembali, yang akan dibuang ke media
lingkungan hidup.
Pembuangan (dumping) sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini adalah
pembuangan limbah sebagai residu suatu usaha dan/atau kegiatan
dan/atau bahan lain yang tidak terpakai atau daluwarsa ke dalam
media lingkungan hidup, baik tanah, air maupun udara. Pembuangan
limbah dan/atau bahan tersebut ke media lingkungan hidup akan
menimbulkan dampak terhadap ekosistem. Sehingga dengan
ketentuan Pasal ini, ditentukan bahwa pada prinsipnya pembuangan
limbah ke media lingkungan hidup merupakan hal yang dilarang,
kecuali ke media lingkungan hidup tertentu yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam hal menetapkan pejabat yang berwenang dari instansi lain
untuk melakukan pengawasan, Menteri melakukan koordinasi dengan
pimpinan instansi yang bersangkutan.
Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini merupakan pelaksanaan
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan memperhatikan situasi dan kondisi tempat
pengawasan adalah menghormati nilai dan norma yang berlaku baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
Pasal 25
Ayat (1) sampai ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Bobot pelanggaran peraturan lingkungan hidup bisa berbeda-beda
mulai dari pelanggaran syarat administratif sampai dengan
pelanggaran yang menimbulkan korban.
Yang dimaksud dengan pelanggaran tertentu adalah
pelanggaran oleh usaha dan/atau kegiatan yang dianggap berbobot
untuk dihentikan kegiatan usahanya, misalnya telah ada warga
masyarakat yang terganggu kesehatannya akibat pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 28
Audit lingkungan hidup merupakan suatu instrumen penting bagi
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk meningkatkan efisiensi
kegiatan dan kinerjanya dalam menaati persyaratan lingkungan hidup yang
ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam pengertian ini, audit
lingkungan hidup dibuat secara sukarela untuk memverifikasi ketaatan
terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan hidup yang berlaku,
serta dengan kebijaksanaan dan standar yang ditetapkan secara internal oleh
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 29
Ayat (1) Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Hasil audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini
merupakan dokumen yang bersifat terbuka untuk umum, sebagai
upaya perlindungan masyarakat karena itu harus diumumkan.
Pasal 30
Ayat (1)
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk melindungi hak
keperdataan para pihak yang bersengketa.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
putusan yang berbeda mengenai satu sengketa lingkungan hidup
untuk menjamin kepastian hukum.
Pasal 31
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui perundingan di luar
pengadilan dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang berkepentingan,
yaitu para pihak yang mengalami kerugian dan mengakibatkan kerugian,
instansi pemerintah yang terkait dengan subyek yang disengketakan, serta
dapat melibatkan pihak yang mempunyai kepedulian terhadap pengelolaan
lingkungan hidup.
Tindakan tertentu di sini dimaksudkan sebagai upaya memulihkan
fungsi lingkungan hidup dengan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat setempat.
Pasal 32
Untuk melancarkan jalannya perundingan di luar pengadilan, para
pihak yang berkepentingan dapat meminta jasa pihak ketiga netral yang
dapat berbentuk :
a. pihak ketiga netral yang tidak memiliki kewenangan mengambil
keputusan.
Pihak ketiga netral ini berfungsi sebagai pihak yang
memfasilitasi para pihak yang berkepentingan sehingga dapat
dicapai kesepakatan.
Pihak ketiga netral ini harus :
(1) disetujui oleh para pihak yang bersengketa;
(2) tidak memiliki hubungan keluarga dan/atau
hubungan kerja dengan salah satu pihak yang
bersengketa;
(3) memiliki ketrampilan untuk melakukan
perundingan atau penengahan;
(4) tidak memiliki kepentingan terhadap proses
perundingan maupun hasilnya.
b. pihak ketiga netral yang memiliki kewenangan mengambil
keputusan berfungsi sebagai arbiter, dan semua putusan
arbitrase ini bersifat tetap dan mengikat para pihak yang
bersengketa.
Pasal 33
Ayat (1)
Lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup ini
dimaksudkan sebagai suatu lembaga yang mampu memperlancar
pelaksanaan mekanisme pilihan penyelesaian sengketa dengan
mendasarkan pada prinsip ketidakberpihakan dan profesionalisme.
Lembaga penyedia jasa yang dibentuk Pemerintah dimaksudkan
sebagai pelayanan publik.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Ayat ini merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan
hidup yang disebut asas pencemar membayar. Selain diharuskan
membayar ganti rugi, pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup
dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum
tertentu, misalnya perintah untuk :
memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah
sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan;
memulihkan fungsi lingkungan hidup;
menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Ayat (2)
Pembebanan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan
pelaksanaan perintah pengadilan untuk melaksanakan tindakan
tertentu adalah demi pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Pasal 35
Ayat (1)
Pengertian bertanggung jawab secara mutlak atau strict liability, yakni
unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai
dasar pembayaran ganti kerugian. Ketentuan ayat ini merupakan lex
specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada
umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap
pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat
ditetapkan sampai batas tertentu.
Yang dimaksudkan sampai batas tertentu, adalah jika menurut
penetapan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ditentukan
keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan
atau telah tersedia dana lingkungan hidup.
Ayat (2)
Huruf a sampai huruf c
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan tindakan pihak ketiga dalam ayat ini
merupakan perbuatan persaingan curang atau kesalahan yang
dilakukan Pemerintah.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud hak mengajukan gugatan perwakilan pada ayat ini
adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili
masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan
permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan yang ditimbulkan karena
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Gugatan yang diajukan oleh organisasi lingkungan hidup tidak dapat
berupa tuntutan membayar ganti rugi, melainkan hanya terbatas
gugatan lain, yaitu :
a. memohon kepada pengadilan agar seseorang
diperintahkan untuk melakukan tindakan hukum tertentu
yang berkaitan dengan tujuan pelestarian fungsi
lingkungan hidup;
b. menyatakan seseorang telah melakukan perbuatan
melanggar hukum karena mencemarkan atau merusak
lingkungan hidup;
c. memerintahkan seseorang yang melakukan usaha
dan/atau kegiatan untuk membuat atau memperbaiki unit
pengolah limbah.
Yang dimaksud dengan biaya atau pengeluaran riil adalah
biaya yang nyata-nyata dapat dibuktikan telah
dikeluarkan oleh organisasi lingkungan hidup.
Ayat (3)
Tidak setiap organisasi lingkungan hidup dapat mengatasnamakan
lingkungan hidup, melainkan harus memenuhi persyaratan tertentu.
Dengan adanya persyaratan sebagaimana dimaksud di atas, maka
secara selektif keberadaan organisasi lingkungan hidup diakui memiliki
ius standi untuk mengajukan gugatan atas nama lingkungan hidup ke
pengadilan, baik ke peradilan umum ataupun peradilan tata usaha
negara, tergantung pada kompetensi peradilan yang bersangkutan
dalam memeriksa dan mengadili perkara yang dimaksud.
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1) sampai ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 42 sampai pasal 52
Cukup jelas
______________________________________

PP No 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 1999
TENTANG
PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
  1. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya alamnya berdasarkan Wawasan Nusantara merupakan salah satu bagian lingkungan hidup yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, berfungsi sebagai ruang bagi kehidupan Bangsa;
  2. bahwa pengelolaan lingkungan laut beserta sumber daya alamnya bertujuan untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat dan kelangsungan makhluk hidup lainnya;
  3. bahwa meningkatnya kegiatan pembangunan di darat dan di laut maupun pemanfaatan laut beserta sumber daya alamnya dapat mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan laut yang akhirnya dapat menurunkan mutu serta fungsi laut;
  4. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut;
Mengingat :
  1. Pasal 5 ayat (2), Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945;
  2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823);
  3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landasan Kontinen Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1973 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2994);
  4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
  5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3260);
  6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);
  7. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);
  8. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982;
  9. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
  10. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3493);
  11. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
  12. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647);
  13. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG
PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksudkan dengan :
  1. Laut adalah ruang wilayah lautan yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional;
  2. Pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya;
  3. Baku mutu air laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemaran yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut;
  4. Perusakan air laut adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang melampaui kriteria baku kerusakan laut;
  5. Kerusakan laut adalah perubahan fisik dan/atau hayati laut yang melewati kriteria baku kerusakan laut;
  6. Kriteria baku kerusakan laut adalah ukuran batas perubahan sifat fisik dan/atau hayati lingkungan laut yang ditenggang;
  7. Status mutu laut adalah tingkat mutu laut pada lokasi dan waktu tertentu yang dinilai berdasarkan baku mutu air laut dan/atau kriteria baku kerusakan laut;
  8. Perlindungan mutu laut adalah setiap upaya atau kegiatan yang dilakukan agar mutu laut tetap baik;
  9. Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut adalah setiap upaya atau kegiatan pencegahan dan/atau penanggulangan dan/atau pemulihan pencemaran dan/atau perusakan laut;
  10. Pembuangan (dumping) adalah pembuangan limbah sebagai residu suatu usaha dan/atau kegiatan dan/atau benda lain yang tidak terpakai atau daluarsa ke laut;
  11. Limbah adalah sisa usaha dan/atau kegiatan;
  12. Limbah cair adalah sisa dari proses usaha dan/atau kegiatan yang berwujud cair;
  13. Limbah padat adalah sisa atau hasil samping dari suatu usaha dan/atau atau kegiatan yang berwujud padat termasuk sampah;
  14. Orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum;
  15. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan;
  16. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
Pasal 2
Perlindungan mutu laut meliputi upaya atau kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut dengan tujuan untuk mencegah atau mengurangi turunnya mutu laut dan/atau rusaknya sumber daya laut.
BAB II
PERLINDUNGAN MUTU LAUT
Pasal 3
Perlindungan mutu laut didasarkan pada baku mutu air laut, kriteria baku kerusakan laut dan status mutu laut
Pasal 4
Baku mutu air laut dan kriteria baku kerusakan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan masukan dari menteri lainnya dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen terkait lainnya.
Pasal 5
  1. Status mutu laut ditetapkan berdasarkan inventarisasi dan/atau penelitian data mutu air laut, kondisi tingkat kerusakan laut yang mempengaruhi mutu laut.
  2. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dapat menetapkan status mutu laut berdasarkan pedoman teknis penetapan status mutu laut yang ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
  3. Dalam hal Gubernur Kepala Daerah Tingkat I tidak menetapkan status mutu laut, maka Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan status mutu laut.
Pasal 6
Kepala instansi bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penilaian dan penetapan status mutu laut.
Pasal 7
  1. Air laut mutunya memenuhi baku mutu air laut dinyatakan sebagai air laut yang status mutunya berada pada tingkatan baik.
  2. Air yang mutunya tidak memenuhi baku mutu air laut dinyatakan sebagai air laut yang status mutunya berada pada tingkatan tercemar.
Pasal 8
  1. Lingkungan laut yang memenuhi kriteria baku kerusakan laut dinyatakan sebagai lingkungan laut yang status mutunya pada tingkatan baik,
  2. Lingkungan laut tidak memenuhi kriteria baku mutu kerusakan laut yang dinyatakan sebagai lingkungan laut yang status mutunya berada pada tingkatan rusak.
BAB III
PENCEGAHAN PENCEMARAN LAUT
Pasal 9
Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan pencemaran laut.
Pasal 10
  1. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan pencemaran laut, wajib melakukan pencegahan terjadinya pencemaran laut.
  2. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang membuang limbahnya ke laut, wajib memenuhi persyaratan mengenai baku mutu air laut, baku mutu limbah cair, baku mutu emisi dan ketentuan-ketentuan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 11
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pencegahan pencemaran laut.
Pasal 12
Limbah cair dan/atau limbah padat dari kegiatan rutin operasional di laut wajib dikelola dan dibuang di sarana pengelolaan limbah cair dan/atau limbah padat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV
PENCEGAHAN PERUSAKAN LAUT
Pasal 13
Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan laut.
Pasal 14
  1. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan laut wajib melakukan pencegahan perusakan laut.
  2. Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pencegahan perusakan
BAB V
PENANGGULANGAN PENCEMARAN
DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT
Pasal 15
  1. Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan laut wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut yang diakibatkan oleh kegiatannya.
  2. Pedoman mengenai penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
BAB VI
PEMULIHAN MUTU LAUT
Pasal 16
  1. Setiap orang penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan laut wajib melakukan pemulihan mutu laut.
  2. Pedoman mengenai pemulihan mutu laut sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
BAB VII
KEADAAN DARURAT
Pasal 17
  1. Dalam keadaan darurat, pembuangan benda ke laut yang berasal dari usaha dan/atau kegiatan di laut dapat dilakukan tanpa izin, apabila;
    1. Pembuangan benda dimaksudkan untuk menjamin keselamatan jiwa kegiatan di laut;
    2. Pembuangan benda sebagaimana dimaksud pada huruf (a) dapat dilakukan dengan syarat bahwa semua upaya pencegahan yang layak telah dilakukan atau pembuangan tersebut merupakan cara terbaik untuk mencegah kerugian yang lebih besar.
  2. Dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemilik dan/atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib dan segera memberitahukan kepada pejabat yang berwenang terdekat dan/atau instansi yang bertanggung jawab.
  3. Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib menyebutkan tentang benda yang dibuang, lokasi, waktu, jumlah dan langkah-langkah yang telah dilakukan.
  4. Instansi yang menerima laporan wajib melakukan tindakan pencegahan meluasnya pencemaran dan/atau kerusakan laut serta wajib melaporkan kepada Menteri.
  5. Biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan laut serta pemulihan mutu laut yang ditimbulkan oleh keadaan darurat, ditanggung oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
BAB VIII
DUMPING
Pasal 18
  1. Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan dumping ke laut wajib mendapatkan izin oleh Menteri.
  2. Tata cara dumping sebagaimana yang dimaksud ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.
BAB IX
PENGAWASAN
Pasal 19
  1. Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan laut.
  2. Untuk melakukan pengawasan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
Pasal 20
  1. Untuk melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dukumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, tempat tertentu, mengambil contoh, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi, serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan/atau kegiatan.
  2. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi permintaan petugas pengawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Setiap pengawasan wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut.
Pasal 21
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, wajib:
  1. mengizinkan pengawas memasuki lingkungan kerjanya membantu terlaksananya tugas pengawasan tersebut;
  2. memberikan keterangan dengan benar, baik secara lisan maupun tertulis apabila hal itu diminta pengawas;
  3. memberikan dokumen dan/atau data yang diperlukan oleh pengawas;
  4. mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan contoh limbah atau barang lainnya yang diperlukan pengawas; dan
  5. mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan gambar dan/atau melakukan pemotretan di lokasi kerjanya.
Pasal 22
  1. Setiap orang penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib menyampaikan laporan hasil pemantauan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut yang telah dilakukan kepada instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis dan instansi terkait lainnya.
  2. Pedoman dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
BAB X
PEMBIAYAAN
Pasal 23
  1. Biaya inventarisasi dan/atau penelitian dalam rangka penetapan status mutu laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan/atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  2. Biaya pengawasan penaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XI
GANTI RUGI
Pasal 24
  1. Setiap orang atau penaggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan laut wajib menanggung biaya penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut serta biaya pemulihannya.
  2. Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain, akibat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan laut wajib membayar ganti rugi terhadap pihak yang di rugikan.
Pasal 25
Tata cara perhitungan biaya, penagihan dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 26
Setelah diundangkannya Peraturan Pemerintah ini, setiap usaha dan/atau kegiatan wajib menyesuaikan persyaratan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 28
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Pebruari 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
KELAUTAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Presiden Republik Indonesia,


Menimbang 
a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diakui secara internasional sebagai suatu negara kepulauan merupakan rahmat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh bangsa dan negara Indonesia untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan bagi kepentingan generasi sekarang dan mendatang;
b. bahwa wilayah laut adalah bagian terbesar wilayah Indonesia yang mempunyai posisi strategis dari berbagai aspek lingkungan hidup, ekologi, ekonomi, sosial, politik, pertahanan dan keamanan yang diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia;
c. bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang berbentuk negara kesatuan berwawasan nusantara perlu memiliki paradigma baru Indonesia masa depan yang berorientasi kelautan di segala bidang pembangunan;
d. bahwa peraturan perundang-undangan di bidang kelautan masih dilaksanakan secara sektoral sehingga diperlukan kebijakan dan pengaturan di bidang kelautan yang bersifat terpadu;
e. bahwa diperlukan pengimplementasian United Nations Convention on the Law Of the Sea 1982 dalam perundang-undangan nasional;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, b, c, d, dan e di atas perlu membentuk Undang-Undang tentang Kelautan.
Mengingat
Pasal 5, Pasal 18, Pasal 20, Pasal 25A, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Perubahannya

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Memutuskan :
Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG KELAUTAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Eksplorasi dan eksploitasi laut adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi dan menghasilkan sumber daya non-hayati di laut sebagai salah satu upaya pemanfaatan laut secara optimal.
2. Hak lintas damai adalah hak semua kapal untuk melintas secara damai melalui laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia secara terus-menerus, langsung, dan secepat mungkin berdasarkan peraturan perundang-undangan dan ketentuan hukum internasional;
3. Hak lintas transit adalah hak semua kapal dan pesawat udara asing untuk melakukan pelayaran dan penerbangan semata-mata untuk tujuan transit yang terus-menerus, langsung, dan secepat mungkin melalui laut teritorial Indonesia di selat yang terletak antara satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif Indonesia dan bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif berdasarkan peraturan perundang-undangan dan ketentuan hukum internasional;
4. Kelautan adalah hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan di wilayah laut yang meliputi permukaan laut, kolom air, dasar laut dan tanah di bawahnya, landas kontinen termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, pesisir, pantai, pulau kecil, serta ruang udara diatasnya;
5. Kemaritiman adalah bagian dari kegiatan di laut yang mengacu pada pelayaran/ pengangkutan laut, perdagangan (sea-borne trade), navigasi, keselamatan pelayaran, kapal, pengawakan, pencemaran laut, wisata laut, kepelabuhanan baik nasional maupun internasional, industri dan jasa-jasa maritim;
6. Kepulauan adalah suatu gugusan pulau termasuk bagian pulau dan perairan di antara pulau-pulau tersebut, dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lain demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan, dan wujud alamiah lainnya itu merupakan satu kesatuan geografi, ekologi, ekonomi, pertahanan, keamanan, dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian;
7. Konvensi adalah Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tahun 1982 (1982 United Nations Convention on the Law of the Sea);
8. Laut adalah ruang perairan di muka bumi yang menghubungkan daratan dengan daratan dan bentuk-bentuk alamiah lainnya yang merupakan kesatuan geografis dan ekologis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan ketentuan hukum internasional;
9. Masyarakat pesisir adalah kelompok masyarakat yang berada di sekitar wilayah pesisir yang mata pencahariannya bergantung pada pemanfaatan sumberdaya di laut, pesisir dan jasa-jasa lingkungan.
10. Menteri adalah Menteri yang tugas dan wewenangnya di bidang kelautan.
11. Negara Kepulauan adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.
12. Negara maritim adalah negara yang mempunyai kegiatan maritim sebagai penggerak utama dan andalan di bidang ekonomi yang didukung kekuatan armada sipil dan militer yang memberikan kontribusi penting bagi kesejahteraan rakyat.
13. Negara pantai adalah negara yang mempunyai pantai sehingga padanya melekat kewajiban dan hak terhadap penggunaan sumber daya laut di zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, landas kontinen sesuai dengan peraturan perundagan-undangan dan ketentuan hukum internasional.
14. Pantai adalah ruang yang terbentuk oleh pertemuan antara laut dan daratan yang menimbulkan adanya pasang tinggi dan pasang rendah.
15. Pemanfaatan laut berkelanjutan adalah penggunaan laut secara optimal untuk kepentingan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat baik bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan datang dengan metode dan teknologi yang ramah lingkungan sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan dan ketentuan hukum internasional.
16. Pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ketentuan hukum internasional.
17. Perusakan laut adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang melampaui kriteria baku kerusakan laut yang mengganggu pembangunan berkelanjutan di bidang kelautan sesuai dengan peraturan perundang- undangan dan ketentuan hukum internasional.
18. Pulau adalah wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah yang dikelilingi oleh air dan berada di atas permukaan air pada waktu air pasang;
19. Pulau-pulau kecil adalah beberapa daratan yang terbentuk secara alami dikelilingi air dan berada di atas permukaan air pada waktu air pasang dengan luas 10.000 km2 atau kurang dan berpenduduk 20.000 orang atau kurang atau tidak berpenghuni yang membentuk kesatuan ekologis dan ekosistem sebagai negara kesatuan yang berwawasan nusantara.
20. Riset ilmiah kelautan adalah kegiatan penelitian di laut dengan menggunakan metode dan teknologi tertentu untuk memanfaatkan sumberdaya laut secara berkelanjutan.

21. Sumberdaya alam di laut adalah keanekaragaman sumberdaya hayati, non-hayati dan energi mencakup ekosistem dan ekologi spesies laut.
22. Sumber daya pesisir adalah sumber daya alam, buatan, dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir.
23. Sumber pencemaran laut adalah sumber pencemaran laut yang berasal dari kegiatan di darat, di kapal, eksplorasi dan eksploitasi, dari udara, dan dumping sesuai dengan ketentuan hukum internasional.
24. Wawasan Nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia terhadap kedaulatan wilayahnya yang merupakan satu kesatuan dari berbagai aspek ekonomi, ekologi, sosial, budaya, politik, pertahanan, dan keamanan yang menjadikannya Indonesia adalah negara utuh menyeluruh sebagai negara kesatuan yang berdaulat.
25. Wilayah pesisir adalah wilayah peralihan/bertemunya antara lautan dan daratan atau wilayah daratan yang masih ada pengaruhnya dari lautan dan wilayah lautan yang masih ada pengaruhnya daratan yang batas-batasnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2

Ruang Lingkup undang-undang ini meliputi wilayah kedaulatan, hak berdaulat dan yurisdiksi laut.

BAB III
ASAS, TUJUAN, DAN SASARAN
Pasal 3

Undang-undang tentang Kelautan ini berdasarkan pada asas-asas kedaulatan, tanggung jawab negara, pembangunan berkelanjutan, keterpaduan, ekologis, kehati-hatian, kemandirian, prioritas kepentingan nasional, kerakyatan dan berkeadilan.

Pasal 4

Tujuan Undang-undang tentang Kelautan adalah:
(1) Mewujudkan negara kelautan dan maritim yang maju, aman dan sejahtera.
(2) Menciptakan laut yang lestari, aman, serta teridentifikasi sumberdayanya laut dalam yurisdiksi nasional dan diluar yurisdiksi nasional.
(3) Memanfaatkan sumberdaya kelautan dan kekayaan laut dalam yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia, laut lepas dan dasar samudera dalam secara berkelanjutan sebesar-besarnya bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang.
(4) Menciptakan sumberdaya manusia kelautan yang profesional, beretika, berdedikasi, dan mampu mendukung pembangunan kelautan secara optimal dan terpadu.

(5) Membentuk pemerintahan yang berorientasi pada pembangunan kelautan bagi kepentingan pembangunan nasional (oceans governance).
(6) Mengembangkan budaya dan atau pengetahuan kebaharian bagi masyarakat untuk menumbuhkan pembangunan yang berorientasikan kelautan.

Pasal 5
Sasaran Undang-undang tentang kelautan adalah :
(1) Terciptanya wawasan dan budaya kelautan melalui Pembangunan Sumber daya manusia, Pembangunan Ilmu pengetahuan dan teknologi, Penyelenggaraan negara dan upaya-upaya lain untuk memasyarakatkan nilai-nilai budaya kelautan.
(2) Terwujudnya kedaulatan secara nyata di wilayah laut melalui pengembangan kemampuan pertahanan, keamanan dan penegakan hukum di wilayah laut.
(3) Terwujudnya industri-industri dan jasa kelautan yang maju dan kuat untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(4) Terwujudnya pemanfaatan dan pengelolaan ruang wilayah kelautan secara serasi, berkelanjutan dan berkeadilan.
(5) Terwujudnya tata dan tertib hukum nasional di bidang kelautan.
BAB IV
KEDAULATAN DAN HAK-HAK BERDAULAT NEGARA DI LAUT DALAM
YURISDIKSI NASIONAL DAN KEWENANGAN NEGARA DI LUAR YURISDIKSI
NASIONAL

Bagian Kesatu
Perairan dalam Yurisdiksi Nasional Indonesia dan rejim hukumnya.

Pasal 6
(1) Indonesia mempunyai kedaulatan, hak berdaulat, dan yurisdiksi atas kawasan laut yang berada di dalam yurisdiksi nasional.
(2) Negara wajib menetapkan batas-batas / delimitasi wilayah negara di laut dengan negara lain.
(3) Segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau- pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya sebagai wilayah perairan Indonesia yang merupakan bagian integral dari wilayah Negara Republik Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia.
(4) Kedaulatan Negara Republik Indonesia di perairan Indonesia meliputi Laut Teritorial, Perairan Kepulauan, dan Perairan Pedalaman serta ruang udara di atas Laut Teritorial, Perairan Kepulauan dan Perairan
Pedalaman dan dasar laut dan tanah dibawahnya termasuk sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Pasal 7 (1) Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari Garis Pangkal Kepulauan Indonesia yang ditarik dengan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan. (2) Laut Teritorial Indonesia berada di bawah kedaulatan negara yang meliputi permukaan laut, dasar laut dan tanah dibawahnya serta udara di atasnya . (3) Di Laut Teritorial Indonesia terdapat hak lintas damai bagi kapal asing. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Laut Teritorial Indonesia diatur dengan undang-undang. Pasal 8 (1) Indonesia mempunyai kedaulatan penuh terhadap Perairan Kepulauan. (2) Indonesia mempunyai kedaulatan penuh terhadap Perairan Pedalaman. (3) Kapal asing dapat diberikan hak lintas damai dan hak lintas alur kepulauan melewati Laut Teritorial, Perairan Kepulauan Indonesia, dan selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional (transit sea lanes passage). (4) Ketentuan lebih lanjut tentang Laut teritorial, Perairan Kepulauan Indonesia, Perairan Pedalaman diatur dengan undang-undang. Bagian Kedua Perairan di bawah hak-hak berdaulat negara Pasal 9 (1) Indonesia memiliki hak berdaulat atas kekayaan alam dan yurisdiksi tertentu di Zona Tambahan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Landas Kontinen Indonesia. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Yurisdiksi dan wewenang negara di Zona Tambahan tersebut diatur oleh Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan hukum laut internasional. Pasal 10 (1) Indonesia mempunyai hak berdaulat dan yurisdiksi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. (2) Ketentuan lebih lanjut tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia diatur dengan Undang-undang. Pasal 11 (3) Indonesia mempunyai hak berdaulat dan yurisdiksi di Landas Kontinen Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut tentang Landas Kontinen Indonesia diatur dengan Undang-undang. 7 Bagian ketiga Penetapan Alur Laut Kepulauan dan Keselamatan Pelayaran/Navigasi Pasal 12 (1) Guna menjamin hak lintas- damai (“innocent passage”) dari kapal-kapal niaga dan pesawat udara komersial asing untuk lewat berlayar/ terbang melintasi perairan kepulauan Indonesia, Pemerintah wajib menetapkan satu atau lebih Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dengan memperhatikan persyaratan sesuai dengan ketentuan Hukum Laut Internasional yang berlaku. (2) Guna kelancaran lalu lintas dan mencegah terjadinya kecelakaan, Pemerintah dapat menetapkan suatu pengaturan Pemisah Lalu Lintas (“Traffic Separation Scheme”/ TSS) di selat- selat yang digunakan untuk pelayaran internasional dan di perairan kepulauan/ nusantara, dengan memperhatikan persyaratan sesuai dengan ketentuan Hukum Laut Internasional yang berlaku. (3) Semua kapal yang melakukan pelayaran dan melakukan lintas- damai di laut wilayah dan perairan kepulauan / nusantara dan lintas transit di selat-selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional, wajib memenuhi persyaratan tentang keselamatan kapal dan navigasi serta ketentuan hukum tentang pencegahan pencemaran laut, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan nasional dan hukum internasional yang berlaku. Bagian keempat Kapal Indonesia Pasal 13 (1) Kapal Indonesia wajib didaftarkan dan memenuhi ketentuan dan persyaratan sesuai dengan Undang-Undang tentang pendaftaran kapal dan Undang-undang lain yang berlaku. (2) Kapal yang telah didaftar sesuai dengan ayat (1) diatas, dapat diberikan Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia sebagai bukti kebangsaan dan kewajiban untuk mengibarkan Bendera Indonesia. (3) Setiap kapal berbendera Indonesia dan kapal asing yang melayari wilayah perairan / laut Indonesia harus memenuhi persyaratan keselamatan kapal dan pelayaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Kelima Kewenangan Negara di luar yurisdiksi nasional Pasal 14 Diluar yurisdiksi nasional Indonesia memiliki kewenangan di laut lepas dan dasar laut dalam atas kapal dan anjungan berbendera Indonesia, instalasi, bangunan serta pulau buatan sesuai dengan Hukum Laut Internasional yang berlaku. 8 Halaman:RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KELAUTAN.djvu/9 Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen, Laut Lepas dan Dasar Laut Internasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ketentuan Hukum Laut Internasional yang berlaku. (3) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memperhatikan : a. dilaksanakan untuk tujuan damai; b. dilakukan dengan metode ilmiah yang tepat; c. tidak dibenarkan mengganggu penggunaan laut lainnya. d. hasil penelitian bersifat terbuka untuk semua pihak, kecuali hasil penelitian tertentu yang oleh pemerintah dinyatakan tidak untuk dipublikasikan. e. sesuai dengan konvensi dan semua ketentuan Hukum Laut Internasional (4) Pemerintah wajib menyusun, mengelola, memelihara dan mengembangkan Bank Data Kelautan. (5) Pemerintah wajib menetapkan baku mutu kelautan yang meliputi aspek hidrologi, aspek oseanografi, aspek meteorologi, dan aspek ekologi. (6) Di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen, izin kepada pihak Negara asing atau Badan / Organisasi Internasional untuk melakukan kegiatan penelitian ilmiah kelautan dapat ditangguhkan, dalam hal : a. akan ada dampak tidak baik terhadap eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam baik hayati maupun non hayati. b. melibatkan suatu pemboran di Landas Kontinen, mengunakan eksplosif atau ada zat/substansi yang akan merusak lingkungan laut; c. pembuatan suatu bangunan konstruksi, beroperasinya suatu pulau atau instalasi buatan ; d. ada kewajiban / hutang yang belum diselesaikan dari penelian ilmiah kelautan yang sebelumnya pernah dilakukan kepada Negara / Pemerintah. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu dan teknologi kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2) ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VI TATA RUANG KELAUTAN Pasal 18 (1) Pemerintah melakukan penataan ruang wilayah kelautan berdasarkan nilai geopolitik, geostrategi, geoekonomi, geokultural, fungsi kawasan; aspek kegiatan lainnya termasuk perikanan, pelayaran, pariwisata, pemanfaatan sumberdaya alam, penelitian; dan aspek lingkungan hidup. (2) Pemerintah melakukan inventarisasi potensi sumberdaya kekayaan kelautan secara berkala dan berkelanjutan sebagai sumber informasi pemanfaatan tata ruang kelautan. 10 (3) Pemanfaatan ruang kelautan bertujuan: a) terselenggaranya pemanfaatan ruang kelautan berwawasan lingkungan yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. b) terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kelautan kawasan lindung dan kawasan budidaya. (4) Pemerintah melaksanakan politik pemetaan kelautan nasional yang meliputi ruang udara, permukaan air, kolom air, dasar laut, tanah di bawah dasar laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil termasuk pemetaan sumber kekayaan kelautan. (5) Rencana Tata Ruang Laut Nasional ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan. BAB VII PEMANFAATAN DAN PENDAYAGUNAAN LAUT Bagian Kesatu Bidang-bidang Pemanfaatan dan Pendayagunaan Pasal 19 (1) Laut dapat dimanfaatkan dan didayagunakan dalam bidang pemenuhan kebutuhan dasar manusia, bidang sumber bahan dasar dan energi serta bidang kegiatan industri dan benda-benda berharga. (2) Pemerintah mendorong dan mengatur eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan kelautan baik di wilayah pesisir maupun di laut untuk kepentingan pembangunan nasional dan kesejahteraan rakyat. (3) Pemerintah melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan metoda dan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan yang tepat tanpa menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan laut atau membahayakan kegiatan di laut atau sumber kekayaan kelautan. (4) Pemerintah melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan ketentuan Hukum Laut Internasional yang berlaku. Bagian Kedua Perikanan Pasal 20 (1) Pemerintah melakukan kegiatan perikanan dengan memperhatikan kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungannya untuk sebesar- besarnya kesejahteraan rakyat. (2) Pemerintah melakukan pengelolaan perikanan dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia untuk tercapainya manfaat 11 yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. (3) Ketentuan lebih lanjut tentang kegiatan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga Pertambangan dan energi di laut Pasal 21 (1) Pemerintah mengatur semua pertambangan yang terdapat dalam wilayah kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat. (2) Pemerintah mengembangkan dan memanfaatkan energi yang berasal dari laut dan udara. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pertambangan dan energi di laut diatur dengan Peraturan Perundang-undangan. Bagian Keempat Pelayaran Pasal 22 (1) Pemerintah mengatur penyelenggaraan pelayaran guna menunjang perdagangan dan perekonomian untuk kesejahteraan rakyat. (2) Pemerintah menyusun dan megembangkan sistem pelayaran berdasarkan konsep sistem transportasi nasional dengan memperhatikan ketentuan hukum internasional. (3) Pemerintah melaksanakan asas kabotase dalam angkutan laut dalam negeri oleh pelayaran nasional, pelayaran rakyat dan asas pangsa angkutan yang wajar dalam angkutan dari dan ke luar negeri. (4) Pemerintah membangun industri maritim termasuk armada nasional yang kuat, tangguh dan handal beserta sarana dan prasarana penunjangnya. (5) Ketentuan lebih lanjut tentang pelayaran diatur dengan peraturan perundang-undangan. Bagian Kelima Wisata Laut Pasal 23 (1) Pemerintah menyelenggarakan kepariwisataan di laut yang dilaksanakan berdasarkan asas manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan dan kepercayaan pada diri sendiri. (2) Pemanfaatan dan pengelolaan wisata laut berdasarkan tata ruang wilayah dilaksanakan dengan asas kelestarian, berkelanjutan, keterpeliharaan, dan memperhatikan aspek ekologis kawasan serta 12 melibatkan peran serta masyarakat adat, masyarakat lokal dan masyarakat pesisir sebagai pemangku kepentingan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kepariwisataan dan wisata laut diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Keenam Industri Dan Jasa Kelautan Pasal 24 (1) Pemerintah membangun industri dan jasa kelautan untuk kesejahteraan rakyat. (2) Pemerintah membangun dan meningkatkan keterpaduan sektor-sektor terkait yang mencakup sarana dan prasarana, Ilmu dan teknologi, dan sumber daya manusia yang terlibat dalam industri dan jasa kelautan. (3) Untuk mewujudkan keterpaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemerintah memberikan insentif dan kemudahan di bidang fiskal, pendanaan dan fasilitas lainnya. (4) Pemerintah menetapkan bidang usaha industri kelautan untuk penanaman modal dalam negeri dan modal asing. (5) Pemerintah menetapkan bidang usaha jenis industri kelautan termasuk dalam kelompok industri kecil. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai industri dan jasa kelautan diatur dengan Peraturan perundang-undangan. Bagian Ketujuh Benda-benda berharga yang ditemukan di Laut Pasal 25 (1) Pemerintah memiliki dan wajib untuk melindungi benda-benda archeologis dan bersejarah serta benda-benda berharga lainnya yang ditemukan di laut yang berada dibawah kedaulatan, sedangkan di wilayah hak-hak berdaulat pemanfaatannya dengan ijin pemerintah sesuai dengan ketentuan hukum internasional. (2) Pelanggaran atas ketentuan ayat (1) diatas, dikenakan sanksi baik perdata maupun pidana. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai benda-benda berharga diatur dalam Peraturan Perundang-undangan. BAB VIII PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN LAUT Pasal 26 (1) Pemerintah melakukan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut serta mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran laut dan kerusakan lingkungan serta ekosistem kelautan,yang berasal dari semua sumber pencemaran laut termasuk yang berasal dari darat, kapal , 13 kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan di laut dan sebagainya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan nasional dan hukum internasional yang berlaku. (2) Pemerintah melakukan konservasi sumber daya alam hayati, non- hayati dan ekosistem kelautan diwilayah kedaulatan dan yurisdiksinya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan nasional dan ketentuan hukum internasional yang berlaku. (3) Dalam melakukan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, Pemerintah wajib menggunakan, memanfaatkan metodologi dan teknologi yang handal dan lazim dipergunakan, apabila diperlukan dapat melakukan kerjasama pada tingkat regional maupun internasional. Bagian Kesatu Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya Pasal 27 (1) Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang (2) Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. (3) Ketentuan lebih lanjut tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Pasal 28 (1) Sumber daya alam hayati di laut meliputi : satwa laut, terumbu karang dan tumbuhan laut. (2) Konservasi sumber daya alam hayati di laut dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan : a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan di laut. b. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan laut dan satwa laut beserta ekosistemnya. c. Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati di laut dan ekosistemnya. (3) Ketentuan lebih lanjut tentang konservasi sumberdaya alam hayati di laut dan ekosistemnya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Perundang- undangan. Bagian Kedua Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 29 (1) Pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 14 (2) Ketentuan lebih lanjut tentang pengelolaan lingkungan hidup diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Bab IX KERJASAMA INTERNASIONAL Pasal 30 (1) Dalam menyelenggarakan, melakukan kegiatan Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut dan Penelitian Ilmiah Kelautan, apabila diperlukan, Pemerintah di tingkat Pusat dapat meminta bantuan teknik dan melakukan kerjasama baik regional atau internasional maupun dengan / melalui suatu organisasi internasional yang kompeten, sesuai dengan peraturan perundangan nasional dan hukum internasional yang berlaku. (2) Kerjasama regional atau internasional dapat pula dilakukan untuk kegiatan penambangan dan pemanfaatan sumberdaya alam di laut-dalam dan sistem pemantauan dan penanggulangan bencana alam di laut . BAB X PEMANTAUAN DAN PENANGGULANGAN BENCANA ALAM DI L AUT Pasal 31 (1) Pemerintah wajib menyelenggarakan suatu Sistem Pemantauan dan Penanggulangan bencana alam di laut yang bersifat sangat dahsyat, berskala besar, luar biasa dan mempunyai dampak serius terhadap tata kehidupan rakyat dan bangsa, yang terjadi di suatu wilayah yurisdiksi nasional ; (2) Pemerintah wajib menggalang suatu kerjasama regional atau internasional dalam sistem pendidikan dan latihan yang meliputi aspek teknis dan non teknis serta penyediaan dana keuangan yang memadai. (3) Ketentuan lebih lanjut tentang sistem pemantauan dan penanggulangan bencana alam di laut yang termasuk klasifikasi dimaksud dalam ayat (1) diatas, diatur dalam Peraturan Perundang-undangan. BAB XI TATANAN HUKUM KELAUTAN Bagian Kesatu Penataan, Pengembangan dan Penegakan Hukum Pasal 32 (1) Pemerintah melakukan penataan, pengembangan dan penegakan hukum laut nasional baik aspek publik maupun perdata, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang ada, agar ada kepastian hukum yang berasaskan peri kemanusiaan dan keadilan bagi kepentingan rakyat dan bangsa serta memperhatikan hukum internasional yang berlaku. (2) Pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang tercantum dalam Undang- Undang tentang Kelautan serta peraturan perundangan pelaksanaannya, 15 merupakan suatu tindakan yang dapat dihukum dengan sanksi baik administratif, perdata dan pidana.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas diatur dalam Peraturan Perundang- undangan.
BAB XII
SUMBERDAYA MANUSIA
Bagian Kesatu
Pendidikan dan Pelatihan Kelautan
Pasal 33
(1) Pemerintah menyelenggarakan sistem pendidikan dan latihan yang berorientasi kepada wawasan kelautan sesuai dengan kondisi geografis Indonesia sebagai Negara Kepulauan terbesar di dunia.
(1) Pemerintah menyelenggarakan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan kelautan untuk meningkatkan pengembangan sumber daya manusia di bidang kelautan.
(2) Pendidikan kelautan merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional yang harus diselenggarakan sejak dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.
(2) Pemerintah menyelehggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan dan / atau pelatihan kelautan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan dan / atau pelatihan yang bersifat internasional
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendidikan dan pelatihan kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dengan Peraturan perundang-undangan.
Pasal 34
Pemerintah dapat bekerja sama dengan lembaga terkait baik di tingkat nasional maupun internasional dalam menyeolenggarakan pendidikan pelatihan, dan penyuluhan kelautan.
Bagian Kedua
Budaya
Pasal 35
(1) Pemerintah melestarikan dan mengembangkan budaya kelautan yang direfleksikan meliputi aspek fisik kelautan, aspek sistem sosial dan aspek sistem dan nilai budaya, sebagai bagian dari sistem kebudayaan nasional;
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang pelestarian dan pengembangan budaya laut diatur dalam Peraturan Perundang-undangan.
Halaman:RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KELAUTAN.djvu/17

BAB XV
PENEGAKAN KEDAULATAN DAN HUKUM DI LAUT

Bagian Kesatu
Badan Otoritas di laut
Pasal 40
(1) Pemerintah melakukan penegakan kedaulatan dan hukum di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi nasional, ruang udara diatasnya ,dasar laut dan tanah dibawahnya termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya serta sanksi, yang dilaksanakan oleh Instansi / aparat penegakan kedaulatan dan hukum sesuai dengan peraturan perundangan dan ketentuan hukum laut internasional yang berlaku.
(2) Penegakan kedaulatan dan hukum di laut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatas, meliputi kegiatan bea dan cukai, imigrasi, transportasi laut / pelayaran, kesehatan / karantina, perikanan, lingkungan hidup, Kepolisian / AIRUD dan TNI Angkatan laut.
(3) Pengkoordinasian dan pelaksanaan kegiatan penegakan kedaulatan dan hukum di laut dilakukan oleh suatu Badan Otoritas di Laut .

Bagian Kedua
Pengadilan Kelautan
Pasal 41
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan hukum di laut diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara perdata dan pidana di bidang kelautan di bentuk Pengadilan Kelautan.
(3) Hak dan kewenangan Pengadilan Kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Perundang-undangan.

BAB XVI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 42
Setiap orang yang melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang kelautan diberi sanksi hukum sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43
(1) Badan atau lembaga lain yang disyaratkan oleh undang-undang ini harus dibentuk selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak berlakunya undang-undang ini.
(2) Sebelum terbentuknya badan atau lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), badan atau lembaga yang sudah ada tetap berfungsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 44 Pada saat berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan tentang kelautan yang sudah ada dinyatakan tetap berlaku selama peraturan yang baru berdasarkan Undang-undang ini belum dikeluarkan dan sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Undang-undang ini. BAB XVIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 45 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang- undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Disahkan di Jakarta pada tanggal ................................ PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd DR. H . SOESILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal .............. MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd DR. YUSRIL IZHA MAHENDRA 19

PENJELASAN ATAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
KELAUTAN

I. UMUM
1. Hukum Laut Internasional telah mengalami perkembangan baru dengan terciptanya Konvensi Hukum Laut PBB 1982 sebagai hasil dari UNCLOS III. Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 dan Konvensi Hukum Laut 1982, selanjutnya disingkat KHL, dan telah berlaku efektif sejak 16 November 1994. Makna penting bagi Indonesia dengan adanya KHL 82 adalah yang pertama, kawasan laut dalam yurisdiksi nasional Indonesia yang semula seluas ± 3 juta km2 menjadi ± 5,8 juta km2; kedua, Konsepsi Negara Kepulauan (Archipelagic State Concept) yang diperjuangkan sejak Deklarasi Djuand tahun 1957 telah mendapatkan pengakuan internasional dengan antara lain diaturnya secara khusus mengenai Negara Kepulauan (Archipelagic State) dalam Bab IV Pasal 46-54 KHL 82; ketiga, dengan pengakuan Konsepsi Negara Kepulauan tersebut maka wawasan politik yang sudah kita miliki yaitu wawasan Nusantara diperkokoh oleh Konsepsi Negara Kepulauan sebagai wawasan kewilayahan.
2. Sebagai konsekuensi dan keterikatan Indonesia kepada KHL 82, maka terdapat banyak hal yang harus dilaksanakan oleh indonesia yaitu mengimplementasikan ketentuan-ketentuan KHL 82 ke dalam peraturan perundang-undangan nasional dengan memperhatikan norma-norma Hukum Laut Internasional. Oleh karena itu, dalammengimplementasikan KHL 82 harus didasarkan kepada landasan hukum yang pokok yaitu UUD 1945 dengan segala perubahannya, Konsepsi Negara Kepulauan, dan wawasan nusantara.
3. KHL 82 sebagai konvensi yang komprehensif mencakup hampir semua aspek pemanfaatan dan pendayagunaan laut, baik dipermukaan laut, maupun di dasar laut dan tanah dibawahnya, serta ruang udara di atasnya sesuai rezim-rezim hukum yang berlaku di wilayah laut dalam yurisdiksi nasional maupun diluar yurisdikasi nasional Indonesia.
4. Laut bagi Indonesia memiliki nilai yang sangat strategis yang mengandung aspek-aspek ekologi, ekonomi, sosial-budaya, politik, keamanan dan pertahanan yang diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan bangsa, negara, dan rakyat Indonesia. Oleh karena itu pembangunan kelautan Indonesia selain mengimplementasikan KHL 82 tetapi juga meliputi aspek-aspek lain sesuai kepentingan nasional, baik aspek perdatanya, maupun aspek publiknya.
5. UUD 1945 tidak mencantumkan secara implisit mengenai pentingnya pemanfaatan dan pendayagunaan laut bagi kemakmuran rakyat. Hal ini mengakibatkan visi, orientasi dan paradigma pembangunan nasional cenderung kepada pembangunan di darat, yang membawa dampak habisnya atau kejenuhan dan degradasi lahan sumber daya alamnya. Oleh karena itu perlu ada perubahan visi, orientasi dan paradigma pembangunan nasional ke arah pembangunan kelautan. Pembangunan di bidang kelautan harus menjadi alternatif pembangunan nasional di bidang kelautan harus berasaskan pembangunan berkelanjutan yang berbasis ekosistem, sehingga hasil-hasil pembangunan yang dicapai dapat bermanfaat bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. 6. Peraturan perundang-undangan di bidang kelautan yang berlaku dewasa ini, masih diwarnai oleh semangat sektoral yang kenyataannya dalam pelaksanaannnya sering menimbulkan tumpang tindih, perbedaaan visi dan persepsi, bahkan benturan kewenangan antara sektor yang satu dengan sektor lainnya. Namun demikian undang-undang ini tidak dimaksudkan mematikan sama sekali undang-undang sektoral, yang dimaksudkan Undang-undang sektoral antara lain UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999, UU Pelayaran No.21 Tahun 1992, UU Perikanan No.31 Tahun 2004, dan lain sebagainya, tetapi perlu diharmonisasikan dan disinergikan agar pemanfaatan dan pendayagunaan laut dapat optimal dan memberikan kontribusi yang besar bagi pembangunan bangsa. 7. Berhubung dengan hal-hal sebagaimana diuraikan diatas, perlu diciptakan Undang-undang tentang Kelautan yang memuat pokok-pokok pengaturan yang terpadu dan merupakan satu kesatuan sistem dalam pembangunan kelautan Indonesia. Undang-undang tersebut merupakan kebijakan pokok dalam pembangunan kelautan dan menjadi landasan hukum utama dalam menciptakan undang-undang organik lainnya di bidang kelautan. Dengan adanya undang-undang ini diharapkan terwujudnya Negara Indonesia sebagai Negara Kepulauan dan Negara Maritim yang maju, kuat dan mandiri. 8. Pokok-pokok pengaturan dalam undang-undang ini meliputi : a. Kedaulatan dan Hak-hak Berdaulat Negara di Laut Dalam Yurisdiksi Nasional dari kewenangan Negara di Luar Yurisdiksi Nasional Indonesia. b. Penelitian, pengembangan, penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan. c. Tata ruang kelautan d. Pemanfaatan dan pendayagunaan laut e. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. f. Pemantauan dna penanggulan bencana alam di laut. g. Tatanan Hukum Kelautan. h. Penegakan Kedaualatan dan Hukum di Laut i. Sumberdaya Manusia j. Pembangunan Kelautan. 21 k. Kewenangan daerah di Laut. Pokok-pokok pengaturan tersebut di atas diharapkan telah memuat pokok-pokok ketentuan dalam KHL 82 yang perlu diimplementasikan dalam peraturan perundang-undangan nasional dan memuat aspek-aspek lain yang perlu diatur dalam Pembangunan Kelautan Nasional. II. Pasal demi pasal Pasal 1 Ayat 1 Cukup jelas Pasal 1 Ayat 2 Cukup jelas Pasal 1 Ayat 3 Cukup jelas Pasal 1 Ayat 4 Cukup jelas Pasal 1 Ayat 5 Cukup jelas Pasal 1 Ayat 6 Cukup jelas Pasal 1 Ayat 7 Cukup jelas Pasal 1 Ayat 8 Cukup jelas Pasal 1 Ayat 9 Cukup jelas Pasal 1 Ayat 10 Cukup jelas Pasal 1 Ayat 11 Cukup jelas Pasal 1 Ayat 12 Cukup jelas 22 Pasal 1 Ayat 13 Cukup jelas Pasal 1 Ayat 14 Cukup jelas Pasal 1 Ayat 15 Cukup jelas Pasal 1 Ayat 16 Cukup jelas Pasal 1 Ayat 17 Cukup jelas Pasal 1 Ayat 18 Cukup jelas Pasal 1 Ayat 19 Cukup jelas Pasal 1 Ayat 20 Cukup jelas Pasal 1 Ayat 21 Cukup jelas Pasal 1 Ayat 22 Cukup jelas Pasal 1 Ayat 23 Cukup jelas Pasal 1 Ayat 24 Cukup jelas Pasal 1 Ayat 25 Cukup jelas Pasal 2 Wilayah kedaulatan adalah wilayah laut dimana Negara memiliki hak dan kewenangan sepenuhnya atas wilayah laut yang berada di bawah kedaulatan negara yaitu Perairan Pedalaman, Perairan Kepulauan, dan Laut Teritorial Indonesia, sedangkan wilayah laut yang berada dibawah hak berdaulat dan yurisdiksi yaitu wilayah laut dimana negara mempunyai kewenangan yang terbatas antara lain di bidang bea cukai, imigrasi, fiskal, dan kesehatan 23 kelautan, yang meliputi Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen. Pasal 3 Yang dimaksud dengan “Asas tanggung jawab negara” adalah sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, yaitu Pasal 33 ayat (2) menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pengertian dikuasai ini bukan dimiliki tetapi mengelola sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab negara. Ada 4 unsur dalam sebuah negara, yaitu Pemerintahan, Rakyat, Wilayah, dan Hubungan Internasional. Dalam hal asas tanggung jawab negara terhadap persoalan kelautan menunjuk pada pemerintahan karena negara sebagai konsep abstrak, sehingga tanggung jawabnya dilaksanakan oleh pemerintah. Pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk mengelola laut sebagai bagian dari bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Asas tanggung jawab negara juga menunjuk pada hasil-hasil Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia tahun 1972 di Stockholm, yang salah satu hasilnya adalah Deklarasi Stockholm yang terdiri dari 27 Prinsip, yang salah satunya adalah Prinsip 21 yang berbunyi “State have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental and developmental policies and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction.” Prinsip 21 Deklarasi Stockholm ini dijadikan Prinsip 2 Deklarasi Rio 1992 yang menunjukkan pentingnya ketentuan tersebut, meskipun prinsip tersebut berdimensi internasional, tetapi penerapannya dapat bersifat nasional bahwa suatu negara mempunyai tanggung jawab untuk mengelola sumber daya alam nasionalnya sekaligus melestarikannya. Sedangkan menurut penjelasan Pasal 3 UU No. 23/1997, asas tanggung jawab negara adalah negara menjamin bahwa pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat baik generasi masa kini maupun generasi mada depan. Di lain pihak, negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dalam wilayah yurisdiksinya yang menimbulkan kerugian terhadap wilayah yurisdiksi wilayah negara lain serta melindungi negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara. Pelaksanaan tanggung jawab negara oleh pemeintah dan rakyat merupakan unsur terpenting berjalannya konsep pembangunan berkelanjutan. Asas pembangunan berkelanjutan mulai banyak dibahas bermula dari Laporan Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan (the World Commission on Environment and Development) tahun 1987 atau Laporan ini dikenal dengan Laporan Brundtland (Brundtland Report, Brundtland adalah mantan Perdana Menteri Nowegia) yang berjudul Our Common Future (Masa Depan Kita Bersama) yang kemudian menjadi bacaan wajib bagi semua semua pihak yang peduli terhadap lingkungan hidup global. Dalam Laporan tersebut berintikan keharusan setiap negara menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yang menyatakan bahwa “Sustainable Development means development that meets the needs of the present generations without compromising the ability of future generations 24 to meet their own needs”. Maksudnya adalah bahwa pembangunan berkelanjutan menjamin kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang, yaitu sumber daya alam yang ada sekarang ini dimanfaatkan untuk generasi sekarang dan mendatang, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan di masa sekarang saja, tetapi jauh ke dapan untuk anak cucu generasi yang akan datang, sehingga penggunaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan harus menerapkan asas pembangunan berkelanjutan.
Sebenarnya istilah sustainable development sudah ada sebelum tahun 1987, yaitu yang terdapat dalam prinsip-prinsip Deklarasi Stockholm tahun 1972 dan rekomendasinya. Konferensi Stockholm tahun 1972 dilanjutkan dengan Konferensi PBB tentang Pembangunan dan Lingkungan tahun 1992 di Rio de Janeiro yang menghasilkan berbagai dokumen penting di bidang lingkungan dan pembangunan yang kemudian dijadikan standard internasional untuk mengintegrasikan pembangunan dengan lingkungan terutama oleh negara negara maju. Salah satu hasil dari KTT Bumi 1992 itu adalah Deklarasi Rio yang merupakan bentuk penyempurnaan dari Deklarasi Stockholm KTT Bumi 1992 ini menimbulkan dampak yang sangat signifikan terhadap tumbuhnya kesadaran masyarakat internasional (negara) untuk peduli terhadap perlindungan lingkungan global, termasuk kesadaran lingkungan di Indonesia, yaitu hampir semua aspek sekarang harus menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia tidak terancam rusak. UU No. 23/1997 banyak mengadopsi ketentuan internasional tersebut, misalnya Pasal 1 angka 3 bahwa pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terenca yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumber daya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Oleh karena itu, undang-undang kelautan ini mengharuskan semua kegiatan di bidang kelautan menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan agar kekayaan alam yang terkandung di laut kita itu bukan untuk dinikmati oleh generasi sekarang tetapi juga untuk generasi mendatang, sehingga pemanfaatan, eksplorasi, eksploitasi sumber daya laut tidak boleh dihabiskan tetapi dilestarikan. Bahkan asas pembangunan berkelanjutan sudah diadopsi dalam UUD 1945, yaitu Pasal 33 ayat (3) bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Sedangkan menurut UU No. 23/1997, asas keberlanjutan mengandung makna setiap orang memikul kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi. Untuk terlaksananya kewajiban dan tanggung jawab tersebut, maka kemampuan lingkungan hidup harus dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan lingkungan hidup menjadi tumpuan terlenjutkan pembangunan. Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan menunjukkan adanya tanggung jawab negara.
Asas keterpaduan menunjukkan adanya pengintegrasian dan kesinergisan kebijakan dan pelaksanaan berbagai sektor pemerintahan pada semua tingkat pusat, pemerintahan daerah, juga termasuk keterpaduan antara kegiatan ekosistem darat dan ekosistem laut. Asas keterpaduan ini berarti menghilangkan kepentingan/arogansi sektor, tetapi membangun tanggung jawab bersama dalam mengelola sumber daya kelautan bagi kepentingan bangsa dan negara.
Asas pengelolaan berbasis ekosistem dan ekologis bahwa suatu kegiatan oleh satu sektor atau oleh masyarakat akan menimbulkan dampak bagi kegiatan lain, misalnya kegiatan yang dilakukan di darat tanpa perhitungan dengan baik akan menimbulkan dampak negatif bagi kualitas di laut. Asas ini tidak beda dengan asas keterpaduan. Penebangan hutan secara sembarangan dipastikan akan mengakibatkan banjir atau rusak ekosistem lain, yaitu ekosistem laut. Demikian juga suatu kegiatan harus memperhatikan pertimbangan ekologis karena satu sama terkait.
Asas kehati-hatian merupakan asas yang sudah diakui dan diterapkan secara internasional terutama di negara-negara maju dengan menggunakan metode dan teknologi maju. Prinsip ini diambil dari Prinsip 15 Deklarasi Rio 1992 yang berbunyi : “ In order to protect the environment, the precautionary approach shall be widely applied by States accoding to theircapabilities”, yaitu bahwa untuk melindungi lingkungan hidup,pendekatan kehati-hatian harus diterapkan oleh negara sesuai dengan kemampuanya. Prinsip kehati- hatian sudah dikembangkan dan diterapkan dalam Konvensi PBB tentang Keanekaragaman hayati tahun 1992. Asas ini dilaksanakan dalam proses AMDAL sebagaimana sudah diterapkan di Indonesia,meskipun tampaknya belum dilakukan secara sempurna, misalnya kasus penggalian pasir laut di Riau ternyata mengakibatkan kerusakan lingkungan laut, dan contoh lain, Amdal proyek reklamasi pantai utara Jawa. Kalau tidak menerapkan prinsip kehati-hatian, maka akan mengakibatkan kerusakan yang luar biasa bagi ekosistem darat dan laut. Oleh karena itu, pembangunan di bidang kelautan, misalnya hotel-hotel sebagai sarana dan prasarana wisata bahari atau eksplorasi dan eksploitasi mutlak harus menerapkan asas kehati-hatian agar sumber daya kelautan tidak rusak/tercemar. Demikian dalam soal investasi di bidang kelautan.
Asas kemandirian harus memberdayakan kemampuan yang ada dan berusaha keras untuk tidak bergantung pada bantuan negara lain, sebab menerima bantuan negara atau pihak lain akan mengakibatkan kerugian bagi kepentingan nasional. Oleh karena itu, pembinaan sumber daya manusia harus terus-menerus dilakukan. Jangan sampai kekayaan laut yang melimpah itu dinikmati oleh pihak asing. Kemandiriaan harus mengembangkan capacity-building dan tekad yang kuat dari pemerintah dan semua pihak agar sumber daya laut memberikan manfaat optimal bagi kesejahteraan bangsa.
Asas prioritas kepentingan nasional sebagai pengganti asas cabotage karena asas Cabotage dikenal dalam pelayaran yang merupakan asas dibidang pelayaran yang sekarang ini ditangai oleh Direktoral Perhubungan Laut Departemen Perhubungan. Apabila asas ini akan dicakup dalam undang-undang ini, maka perlu dipertimbangkan pula untuk mencakup asas-asas sektoral lainnya. Oleh karena itu, penggunaan istilah Cabotage, diusulkan supaya digunakan istilah “prioritas kepentingan nasional” melakukan pembangunan di bidang kelautan ini. Selama memang masih mampu, kepentingan nasional harus diprioritaskan.
Asas berkeadilan ini berhubungan erat dengan asas peran serta masyarakat, di mana masyarakat harus menikmati sumber daya kelautan. Artinya keadilan harus dilaksanakan, jangan sampai mereka yang memiliki modal yang mampu menguasai sumber daya kelautan, sementara masyarakat yang tinggal di sekitar laut tidak mendapatkannya. Di lain pihak, masyarakat juga harus bekerja keras untuk terlibat dalam membangun sumber daya laut tersebut, sehingga terjadi keseimbangan yang pada akhirnya akan tercapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas Pasal 4 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 4 Ayat (3) Cukup jelas Pasal 4 Ayat (4) Cukup jelas Pasal 4 Ayat (5) Cukup jelas Pasal 4 Ayat (6) Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “memasyarakatkan nilai-nilai budaya kelautan” adalah merubah paradigma landbased oriented (orientasi pembangunan darat) ke marinebased oriented (orientasi pembangunan kelautan). Pasal 5 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 5 Ayat (3) Yang dimaksud dengan “industri dan jasa kelautan” adalah antara lain galangan kapal, pelayaran, bangunan lepas pantai. Pasal 5 Ayat (4) Cukup jelas Pasal 5 Ayat (5) Cukup jelas 27 Pasal 6 Ayat (1) Dengan telah disetujuinya konsepsi negara kepulauan berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No.17 tahun 1985 Indonesia mempunyai perairan yang berada dalam yurisdiksi nasional yang meliputi perairan dalam kedaulatan negara dan perairan dibawah hak-hak berdaulat negara. Pasal 6 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 6 Ayat (3) Cukup jelas Pasal 6 Ayat (4) Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “garis pangkal lurus kepulauan” adalah .........(UU No.6 tahun 1996) Pasal 7 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 7 Ayat (3) Cukup jelas Pasal 7 Ayat (4) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Perairan Kepulauan Indonesia” adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Pasal 8 Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Perairan Pedalaman Indonesia” adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai- pantai Indonesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup, antara lain teluk, danau, muara sungai, pelabuhan, kuala dan sebagainya. Pasal 8 Ayat (3) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (4) Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) 28 Yang dimaksud dengan ”hak berdaulat di zona tambahan Indonesia dan ZEEI” antara lain bea cukai, imigrasi, fiskal, dan sanitasi. Sedangkan yang dimaksud dengan “hak berdaulat atas kekayaan di landas kontinen Indonesia” meliputi eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam dan didasar laut serta tanah dibawahnya. Zona Tambahan Indonesia adalah perairan yang berdampingan dengan laut Teritorial Indonesia yang di ukur selebar 24 mil dari Garis Pangkal Lurus Kepulauan. Indonesia belum memiliki pengaturan hukum mengenai zona tambahan, sedangkan zona tambahan ini termasuk wilayah zona ekonomi eksklusif, tetapi UU No. 5/1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif sendiri tidak mengaturnya, sehingga tepat sekali persoalan zona ini dimasukkan dalam undang-undang ini. Zona tambahan sejauh 24 mil dalam undang-undang ini diambil dari ketentuan Pasal 33 Konvensi Hukum Laut 1982. Pasal 9 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1) Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah kawasan laut di luar dan berbatasan dengan Laut Teritorial Indonesia sejauh 200 (dua ratus) mil laut diukur dari Garis Pangkal Lurus Kepulauan darimana lebar laut teritorial diukur. Pasal 10 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Yang dimaksudkan dengan “landas kontinen” adalah kawasan dasar laut dan tanah dibawahnya yang diukur sampai titik terluar tepian kontinen, sampai sejauh 200 mil dari garis pangkal apabila tepian kontinen kurang dari 200 mil, sampai jarak 300 mil dari garis pangkal apabila tepian kontinen lebih dari 200 mil. Sampai jarak 100 mil dari garis sama dalam (isobath) 2500 meter apabila tepian kontinen lebih dari 200 mil. Pasal 11 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas Pasal 12 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 12 Ayat (3) Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) 29 Cukup jelas Pasal 13 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 13 Ayat (3) Cukup jelas Pasal 14 Yang dimaksudkan “di luar yurisdiksi nasional” adalah laut bebas dan dasar samudera dalam (international seabed area). Pasal 15 Ayat (1) Laut Lepas adalah kawasan laut yang tidak termasuk wilayah Perairan Pedalaman, Laut Teritorial, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Pasal 15 Ayat (2) Cukup Jelas. Pasal 15 Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (4) a. kejahatan internasional di laut meliputi perompakan di laut, perdagangan budak, perdagangan gelap narkotika dan sejenisnya. b. cukup jelas c. cukup jelas d. pengawasan teknis menyangkut syarat-syarat teknis kapal, pengawasan administratif menyangkut pendaftaran kapal, pengawasan sosial menyangkut syarat-syarat dinas di kapal. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Pasal 16 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 16 Ayat (3) Cukup jelas Pasal 16 Ayat (4) Pemerintah wajib melakukan kerjasama dengan Badan Otorita Dasar Laut Internasional untuk mengimplemantasikan hak dan kewajiban Indonesia di dasar laut dalam. Pasal 17 Ayat (1) 30 Cukup jelas Pasal 17 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 17 Ayat (3) Cukup jelas Pasal 17 Ayat (4) Bank data diperlukan untuk mengetahui potensi sumberdaya kelautan Indonesia. Pasal 17 Ayat (5) Dalam pengelolaan sumberdaya Kelautan harus didasarkan kepada Baku Mutu Kelautan yang merupakan standart atau ambang batas untuk mencegah terjadinnya pengrusakkan atau pencemaran lingkungan laut Pasal 17 Ayat (6) Cukup jelas Pasal 17 Ayat (7) Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Penataan tata ruang harus memuat semua unsur pendukungnya dan menunjukkan keterpaduan antara unsur-unsur tata ruang kelautan. Pasal 18 Ayat (2) Potensi sumberdaya kelautan Indonesia perlu diketahui untuk menentukan berapa besar kapasitas atau kemampuan Indonesia untuk memanfaatkan dan berapa besar yang dapat dimanfaatkan oleh pihak asing dengan seijin Indonesia Pasal 18 Ayat (3) Cukup jelas Pasal 18 Ayat (4) Yang dimaksud dengan pemetaan kelautan ruang udara adalah yang berhubungan dengan atmosfir dan meteorologi. Pemetaan Kelautan Nasional diperlukan supaya pengelolaan sumberdaya kelautan dilaksanakan secara efektif dan efisien. Pasal 18 Ayat (5) Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) 31 Penataan tata ruang harus memuat semua unsur pendukungnya dan menunjukkan keterpaduan antara unsur-unsur tata ruang kelautan. Pasal 18 Ayat (2) Potensi sumberdaya kelautan Indonesia perlu diketahui untuk menentukan berapa besar kapasitas atau kemampuan Indonesia untuk memanfaatkan dan berapa besar yang dapat dimanfaatkan oleh pihak asing dengan seijin Indonesia Pasal 18 Ayat (3) Cukup jelas Pasal 18 Ayat (4) Yang dimaksud dengan pemetaan kelautan ruang udara adalah yang berhubungan dengan atmosfir dan meteorologi. Pemetaan Kelautan Nasional diperlukan supaya pengelolaan sumberdaya kelautan dilaksanakan secara efektif dan efisien. Pasal 18 Ayat (5) Cukup jelas Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas Pasal 19 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 19 Ayat (3) Cukup jelas Pasal 19 Ayat (4) Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas Pasal 20 Ayat (2) Yang dimaksud dengan wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia adalah Perairan Pedalaman, Perairan Kepulauan, Perairan Teritorial, Zona Tambahan, ZEEI, dan diluar wilayah pengelolaan perikanan RI (WPPRI) dengan memperhatikan ketentuan hukum internas ional. Pasal 20 Ayat (3) 32 Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Pasal 21 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 21 Ayat (3) Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas Pasal 22 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 22 Ayat (3) Cukup jelas Pasal 22 Ayat (4) Cukup jelas Pasal 22 Ayat (5) Cukup jelas Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas Pasal 23 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 23 Ayat (3) Cukup jelas Pasal 24 Ayat (1) Industri dan jasa kelautan meliputi: industri bangunan lepas pantai, perbaikan bangunan lepas pantai, industri kapal/perahu, industri motor pembakaran dalam untuk kapal, industri peralatan dan perlengkapan kapal, industri perbaikan kapal, industri pemotongan kapal, rancang bangun dan perekayasaan industri kelautan, industri pengalengan ikan dan biota laut lainnya, industri penggaraman/pengeringan ikan dan biota perairan lainnya, industri pengasapan ikan dan biota perairan lainnya, industri pembekuan ikan dan biota perairan lainnya, industri 33 pemindangan ikan dan biota perairan lainnya, industri pengolahan dan pengawetan lainnya untuk ikan dan biota perairan lainnya. Pasal 24 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 24 Ayat (3) Untuk mencapai sasaran pembangunan di bidang ekonomi dalam pembangunan industri memegang peranan yang sangat penting yang menentukan sehingga perlu lebih dikembangkan secara seimbang dan terpadu dengan meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif serta mendayagunakan secara optimal seluruh sumber daya alam, manusia dan dana yang tersisa. Pasal 24 Ayat (4) Cukup jelas Pasal 24 Ayat (5) Yang dimaksud dengan industri kecil adalah industri yang menggunakan keterampilan tradisional dan industri penghasil benda seni yang dapat diusahakan hanya oleh Warga Negara Republik Indonesia Pasal 24 Ayat (6) Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Pengangkatan dan pemanfaatan benda-benda berharga yang diklasifikasikan sebagai “archeological and historical” diatur dalam Part XVI - Article 303 UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah R.I . dengan Keppres No.17 tahun 1985, juga diatur lebih rinci dalam UNESCO Convention No......Tahun ...... Persyaratan untuk melakukan survei, pengangkatan dan pemanfaatan benda-benda berharga diperlukan izin dari pemerintah yang meliputi izin survei, izin pengangkatan dan izin pemanfaatan. Pasal 25 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 25 Ayat (3) Cukup jelas Pasal 26 Ayat (1) Pemerintah wajib untuk menetapkan peraturan perundangan nasional tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (marine, sea and ocean environment) sesuai dengan ketentuan hukum internasional termasuk pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut yang berasal baik dari sumber darat (land-based sources), kapal laut, platform, 34 (vessels-sources) instalasi pemboroan minyak, kegiatan di sea bed (marine - based sources), pembuangan sampah (dumping) , dlsb, bahkan yang berasal dari pesawat terbang (aircraft - athmosphere based) serta kerusakan -kerusakan termasuk kerusakan lingkungan (damages, environmental damages) yang diakibatkannya. Pasal 26 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 26 Ayat (3) Cukup jelas Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas Pasal 27 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 27 Ayat (3) Cukup jelas Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas Pasal 28 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 28 Ayat (3) Cukup jelas Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas Pasal 29 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 30 Ayat (1) Sesuai dengan ketentuan hukum laut internasional, Indonesia sebagai “ Archipelagic State “ secara mutatis mutandis mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam hal kerjasama internasional dan permintaan bantuan teknik , khususnya dalam melaksanakan ketentuan tentang Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut , tentang Penelitian Ilmiah dan kegiatan lain termasuk pemanfaatan sumberdaya alam di landas kontinen , dasar laut dan tanah dibawahnya di laut bebas ( sebagai Flag State ) serta dalam pemanfaatan sumberdaya alam di ocean floor ( common heritage of mankind ) yurisdiksi the International Sea Bed Authority (ISBA) , juga dalam hal terjadinya bencana alam di laut. Pasal 30 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 31 35 Ayat (1) Belajar dari peristiwa-peristiwa bencana alam di laut yang terjadi baik yang dapat diprediksi maupun yang tidak dapat diprediksi yang sifatnya sangat masif, luar biasa dan berdampak sangat destruktif , diantaranya seperti Tsunami di Indonesia , Katherina di Amerika Serikat, dll, maka Pemerintah wajib untuk memiliki suatu ketentuan hukum yang mengatur tentang Pemantauannya dan Penanggulangannya serta sistem prosedur pelaksanaannya yang efisien dan efektif. Pasal 31 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 31 Ayat (3) Cukup jelas Pasal 32 Ayat (1) Dewasa ini, aspek Perdata dari Hukum Laut agak kurang diperhatikan dan kurang dipahami, padahal dalam pelaksanaan sehari-hari, khususnya dalam kegiatan angkutan / transportasi laut pelayaran, kepelabuhanan, dsb, kerap kali sangat erat kaitannya atau bersentuhan dengan aspek Publik sehingga sulit untuk membedakannya. Pasal 33 Ayat (1) Sesuai dengan kondisi geographis Indonesia sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State) terbesar di dunia, maka pendidikan, pelatihan tentang kelautan dan aspek budaya kelautan perlu dilakukan mulai dari jenjang terendah sampai ketingkat yang paling tinggi. Pasal 33 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 33 Ayat (3) Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Ayat (1) Indonesia sebagai Negara kepulauan selayaknya menjadi rujukan utama pembangunan karakter dan budaya bangsa. Kebudayaan pada hakekeatnya adalah segalka kemampuan manusia dalam melahirkan konsep, ide, gagasan dan perilaku yang menghasilkan sejumlah system nilai (intangible) dan benda (tangible) yang dijadikan sebagai acuan dalam menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian kebudayaan yang terdiri atas 4 wujud yaitu : kebudayaan fisik, system social, system budaya dan nilai budaya perlu dikembangkan. Budaya bahari fisik umpamanya meliputi : kapal/perahu serta peralatan penangkap ikan. Nilai budaya bahari adalah mentalitas yang menentukan perilaku, cara berfikir yang mencerminkan jiwa bahari. Pasal 35 Ayat (2) 36 Cukup jelas Pasal 36 Ayat (1) Kebijakan kelautan (ocean policy) adalah kebijakan nasional yang merupakan pokok-pokok kebijakan perencanaan dan pembangunan kelautan yang menjabarkan ketentuan-ketentuan ang terdapat dalam undang-undang tentang kelautan yang selanjutnya dijadikan dasar bagi penyususnan berbagai program operasional di bidang kelautan. Pasal 36 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 36 Ayat (3) Cukup jelas Pasal 36 Ayat (4) Cukup jelas Pasal 37 Ayat (1) Dalam menetapkan kebijakan perencaan dan pembangunan kelautan nasional, pemerintah menetapkan secara jelas kewenangan daerah di bidang kelautan. Daerah tidak mempunyai yurisdiksi atas wilayah laut, namun berwenang untuk mengelola sumber daya di wilayah laut serta sumber daya alam di bawah dasar laut dan / atau didasar laut sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku Pasal 37 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 38 Ayat (1) Berbagai lapisan dan lingkungan masyarakat yang berkepentingan dengan kelautan seperti masyarakat nelayan, pelaut, pengusaha di bidang berbagai industri kelautan perlu di dengar dan diikutsertakan dalam penyususnan, perencanaan, penyelenggaraan dan pembangunan kelautan Nasional melalui mekanisme yang diatur peraturan perundang-undangan. Pasal 38 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 39 Ayat (1) Dengan memperhatikan aspirasi, potensi, pengetahuan dan keterampilan di bidang kelautan, berbagai kalangan masyarakat perlu diikutsertakan dan diberi kesempatan dalam pengelolaan, pemanfaatan dan pemeliharaan serta pelestarian wilayah dan potensi kelautan Indonesia. Pasal 39 Ayat (2) Cukup jelas 37 Pasal 40 Ayat (1) Banyaknya Instansi Pemerintah yang mempunyai kewenangan sektoral yang mengatur masing-masing bidangnya termasuk diantaranya masalah bea-cukai, keimigrasian, transportasi laut khususnya aspek keselamatan kapal dan navigasi , kewenangan kepolisian ( “Constabulary rights”),dlsb, berdasarkan peraturan perundangan sektoral yang masih berlaku kerap kali menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya karena tidak adanya koordinasi ,yang dapat menyebabkan terdapatnya suatu kesan atau kondisi tidak atau kurang adanya kepastian hukum. Pasal 40 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 40 Ayat (1) Guna mengatasi hal ini, salah satu upaya adalah dikeluarkannya Undang- Undang tentang Kelautan ini yang mencoba untuk memberikan cantolan payung hukum yang mensinkronkan dan adanya keterpaduan secara nasional dalam penanganannya serta pengawasannya , maka perlu dibentuk suatu wadah / badan otoritas yang bersifat nasional yang mempunyai kewenangan koordinatif dan pengawasan dalam semua kegiatan-kegiatan di laut secara integral. Pasal 41 Ayat (1) Sesuai dengan kebutuhan dalam melaksanakan dan memberi keputusan atas permasalahan kelautan yang timbul baik bersifat perdata , publik maupun pidana, perlu dibentuk suatu Pengadilan Kelautan dalam sistem peradilan nasional. Pasal 41 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 41 Ayat (3) Cukup jelas Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas Pasal 43 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas 38

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ...... TAHUN 2005

Disahkan di Jakarta
pada tanggal ................................
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
DR. H . SOESILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal ..............
MENTERI SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
DR. YUSRIL IZHA MAHENDRA