"

a

Senin, 30 Januari 2012

Proposal Tesis

Goodfather Andries Latjandu (c) 2011
Hak Cipta Intelektual dilindungi oleh Undang-Undang (c) 2012
SEMINAR USULAN PENELITIAN

Judul                          :
Fungsi Dan Peran Pemerintah Dalam Penegakan
Prinsip-Prinsip  Hak  Asasi  Manusia  Terhadap 
Tenaga Kerja Indonesia.

Nama                          : Andries Latjandu
NIM                            : 1023208066
Program Studi           : Ilmu Hukum
Bidang Minat             : Hukum Bisnis

Dosen Pembimbing 
1.  Prof. Dr.Donald A. Rumokoy, SH. MH.
2.  Prof. Dr. Madjid Abdullah, SH. MH.
3.  Ronny A. Maramis SH. MH.

Dosen Penguji           
1. Dr. J. Ronald Mawuntu, SH.MH.
2. Dr.Wulanmas Fredrick, SH. MH.

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
PASCASARJANA
MANADO
2012

BAB  I

PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang
Membangun sistem manajemen tenaga kerja memang memerlukan berbagai perangkat dan political will dari berbagai pihak terutama pemerintah dan pengusaha. Perangkat hukum mengenai tenagakerjaan sudah tersedia meskipun masih memerlukan penyempurnaan disesuaikan dengan tuntutan era reformasi dalam berbagai bidang kehidupan. Namun semuanya harus dimulai agar kenistaan tenaga kerja Indonesia tidak berlanjut.
Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. Itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumber  daya  manusia,  peningkatan  produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia. Pembinaan hubungan industrial sebagai bagian dari pembangunan ketenagakerjaan harus diarahkan untuk terus mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan. 
Pasal 28 –A menyatakan setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pasal 28-D ayat (1)  menyatakan setiap orang berhak atas pengakuan,  jaminan,  perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ayat (2)  Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. [1]
Hal ini dimaksudkan bahwa Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi,  dihormati,  dan ditegakkan demi meningkatkan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Mengacu pada pandangan tersebut di atas sudah selayaknyalah Pemerintah   Republik Indonesia berwenang dan sekaligus berkewajiban untuk senantiasa menjaga keselarasan dan keseimbangan antara hak asasi dan kewajiban asasi atau tanggung jawab asasi dari para warga negaranya, khususnya bagi Tenaga Kerja Indonesia. Peran pemerintah melalui kebijakan publiknya sangat penting dalam memfasilitasi berjalannya mekanisme pasar yang benar sehingga penyimpangan yang terjadi di dalam pasar dapat dihindari. Oleh karena itu, upaya perwujudan membangun landasan demokratisasi penyelenggaraan Negara, dilakukan upaya pembenahan penyelenggara pemerintahan, melalui: Hukum/kebijakan ditujukan pada perlindungan kebebasan sosial, politik dan ekonomi; Kemampuan membuat perencanaan dan melakukan implementasi secara efisien, kemampuan melakukan penyederhanaan organisasi, penciptaan disiplin dan model administratif serta keterbukaan informasi; Penciptaan pasar yang kompetitif. Penyempurnaan mekanisme pasar, peningkatan peran  pemerintah dalam penegakan prinsip-prinsip Hak-Asasi Manusia terhadap Tenaga Kerja Indonesia.  Krisis dalam bidang Ketenagakerjaan yang melanda negara Indonesia sebagai penghambat perwujudan cita-cita dan tujuan nasional. Melalui penegakan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia di bidang Ketenagakerjaan, memungkinkan melakukan langkah penyelamatan, pemulihan, pemantapan dan pengembangan pembangunan serta memperkuat kepercayaan diri. Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Orientasi kedua ini tergantung pada sejauh mana pemerintah mempunyai kompetensi, dan sejauhmana struktur serta mekanisme politik serta administratif berfungsi secara efektif dan efisien dalam menegakan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dalam bidang Ketenagakerjaan.

B.     Perumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah:
1.   Bagaimana kedudukan Tenaga Kerja Indonesia dalam hubungan  hubungan industrial antara pemilik modal dengan pekerja ?
2.   Bagaimana Fungsi dan Peran Pemerintah dalam mewujudkan Perlindungan Hak-hak Dasar Tenaga Kerja Indonesia ?
3.   Bagaimana Penegakan Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dalam Alternatif Penyelesaian Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial?

C.     Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini, adalah:
1.   Untuk mengetahui bagaimana kedudukan Tenaga Kerja Indonesia dalam hubungan  hubungan industrial antara pemilik modal dengan pekerja ?
2.   Untuk mengetahui bagaimana Fungsi dan Peran Pemerintah dalam mewujudkan Perlindungan Hak-hak Dasar Tenaga Kerja Indonesia ?
3.   Untuk mengetahui bagaimana Penegakan Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ?

D.  Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai melalui penelitian ini bersifat teoritis dan praktis, adalah sebagai berikut :
1.   Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan  sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang Hukum Ketenagakerjaan.
2.   Secara praktis, penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbangan pemikiran kepada:
a.    pemerintah sebagai regulator dan penegak hukum di dalam sistem penegakan Hak Asasi Manusia dalam bidang Ketenagakerjaan.
b.   Masyarakat pada umumnya dan Tenaga Kerja/Buruh pada khususnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A.     Tenaga Kerja
Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat, sedangkan Pekerja atau Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.[2] Yang bersangkutan dengan perburuhan itu bukan hanya buruh dan majikan saja, melainkan juga badan-badan lain seperti organisasi buruh, organisasi majikan, dan badan-badan pemerintah. Yaitu:
 buruh dan majikan,  organisasi buruh,  organisasi majikan,  pemerintah (penguasa) dan pengawasan [3]
Hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja dan pengusaha yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja. Dalam bab IX Undang-Undang RI no. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan disebutkan bahwa “ hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja. Dan pengertian tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum baru lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan perjanjian perburuhan atau kesepakatan kerja bersama (KKB) yang ada, dengan halnya dengan peraturan perusahaan, subtansinya tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja maupun kesepakatan kerja bersama (KKB).[4] 

B.     Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsoverenkoms, mempunyai beberapa pengertian. Pasal 1601a KUH Perdata memberikan pengertian sebagai berikut:
“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu si buruh, mengikatkan dirinya untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah”.
Selain pengertian normatif seperti tersebut diatas , Imam Soepomo (53:1983) berpendapat bahwa perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya yakni majikan, dan majikan mengikatkan diri untuk memperkerjakan buruh dengan membayar upah. Menyimak pengertian perjanjian kerja menurut KUH Perdata seperti tersebut diatas tampak bahwa ciri khas perjanjian kerja adalah ”dibawah perintah pihak lain”, di bawah perintah menunjukan bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan bawahan dan atasan (sub ordonasi). Pengusaha sebagai pihak  yang lebih tinggi secara sosial-ekonomi memberikan perintah kepada pihak pekerja yang secara sosial-ekonomi mempunyai kedudukan yang lebih rendah untuk melakukan pekerjaan tertentu. Adanya wewenang perintah inilah yang membedakan antara perjanjian kerja dengan perjanjian lainnya.
Meskipun perjanjian perburuhan adalah suatu perjanjian konsensual (artinya sudah sah dan mengikat setelah terjadinya sepakat antara buruh dan majikan mengenai pekerjaan dan upah atau gaji) namun ada banyak ketentuan yang memerintahkan dibuatnya perjanjian secara tertulis demi melindungi pihak buruh.[5]
Demikianlah hak-hak buruh/pekerja yang diatur dalam Peraturan Perburuhan. Disamping hak pekerja juga mempunyai kewajiban. Menurut Konvensi ILO 1948 ada 4 (empat) macam hak buruh, yaitu:
1. Hak berserikat
2. Hak berunding kolektif
3. Hak mogok
4. Hak mendapat upah[6]
Sedangkan pengertian perjanjian kerja menurut Undang-undang No.13 tahun 2003 tetang ketenagakerjaan sifatnya lebih luas. Dikatakan lebih luas karena menunjuk pada hubungan antara pekerja dan pengusaha dalam bentuk tertulis maupun lisan, dan jangka waktunya tertentu maupun tidak, lebih luas karena memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban. Syarat-syarat kerja berkaitan dengan pengakuan terhadap serikat pekerja,  sedangkan hak dan kewajiban  para pihak salah satunya adalah upah disamping hak dan kewajiban.[7]  
Pengertian perjanjian kerja berdasarkan Undang-undang No.13 tahun 2003 ini sekaligus menjawab perkembangan dan kebutuhan  hukum khususnya yang berkaitan dengan perjanjian kerja yang ada dalam praktek karena dalam realitasnya selama ini para pihak dalam membuat perjanjian kerja ada yang dilakukan secara lisan ada yang tertulis, ada yang tentukan masa berlakunya (pekerja kontrak) dan ada yang tidak ditentukan masa berlakunya (pekerja tetap) sementara perjanjian kerja berdasarkan pada pasal 1601a KUH Perdata tidak mengaturnya.[8]   
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 14 memberikan pengertian Perjanjian Kerja, adalah:
Perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.[9]
Mengenai subyek atau orang-orang yang dapat membuat perjanjian kerja adalah hanya orang dewasa yang mempunyai tanggung jawab serta mempunyai kemampuan untuk menyelenggarakan perjanjian kerja dalam hukum ketenagakerjaan orang dewasa adalah laki-laki maupun perempuan yang telah berusia 18 tahun. Akan tetapi pasal 1601g KUH Perdata memperkenankan seseorang yang belum dewasa mengadakan perjanjian kerja, ia diberi kuasa oleh orang tuanya atau walinya. KUH Perdata sendiri berpokok pangkal pada asas yang menyatakan bahwa:
Setiap orang cakap untuk membuat/mengadakan perjanjian, jika ia oleh Undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap (pasal 1329 KUH Perdata). Orang yang tidak cakap untuk membuat/mengadakan perjanjian adalah:[10]
1. Orang yang belum dewasa
2. Orang yang ditaruh dalam pengampuan
3. Wanita kawin, dalam hal ditetapkan dalam Undang-undang
4. Pada umumnya semua orang yang oleh Undang-undang dilarang mengadakan  
    perjanjian-perjanjian tertentu. (pasal 1330 KUH Perdata).
Syarat-syarat perjanjian kerja sesuai dengan pasal 1320 KUH Perdata, maka agar setiap perjanjian kerja yang diadakan itu sah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a). Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak  yang mengadakan perjanjian itu (antara  buruh/tenaga kerja dan majikan). Jadi tidak boleh ada suatu paksaan dari salah satu pihak, jika ada paksaan maka perjanjian tersebut adalah batal.   
b). adanya kemampuan/kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian.
c). Suatu hal tertentu, artinya bahwa isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan   peraturan perundang-undangan, ketertiban umum maupun kesusilaan.
      Isi dari perjanjian kerja adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tenaga kerja serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban majikan. Hak dari si tenaga kerja merupakan kewajiban dari si majikan, yaitu upah. Sebaliknya apa yang merupakan kewajiban tenaga kerja adalah hak dari majikan (yaitu pekerjaan, dimana tenaga kerja wajib melakukan pekerjaan dan majikan mempekerjakan tenaga kerja).[11]    
      Seperti apa yang telah diuraikan mengenai perjanjian kerja karena yang ada pada pokoknya, menimbulkan suatu hak dan kewajiban  karena pihak-pihak yang berkewajiban dalam perjanjian kerja tersebut. Yang pada dasarnya bahwa perjanjian kerja tersebut telah diawali adanya perjanjian perburuhan yang pembentukannya. Perjanjian kerja yang dibuat berdasarkan atas kesepakatan bersama dengan tujuan akan memperoleh keuntungan, maka hal ini telah dinyatakan sah,  karena sesuai dengan apa yang tertuang dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa “ semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang telibat atau membuatnya”.[12]     
Inti dari semua pengertian yang telah diberikan oleh para ahli dan peraturan perundang-undangan tentang pengertian perjanjian kerja adalah adanya unsur pekerjaan, upah, pemberi kerja (majikan) dan buruh/kerja. Semua perjanjian kerja berisikan unsur-unsur di atas, tetapi dapat ditambah dengan kesepakatan-kesepakatan lainnya sesuai dengan kesepakatan antara majikan/pemberi kerja dan buruh/pekerja.
Pengertian perjanjian kerja berbeda dengan pengertian hukum perburuhan, hukum perburuhan hukum  adalah perjanjian yang diadakan oleh satu atau beberapa serikat buruh yang terdaftar pada Departemen perburuhan dengan seorang atau beberapa majikan, satu atau beberapa perkumpulan majikan yang berbadan hukum, yang pada umumnya atau semata-mata memuat syarat-syarat perburuhan yang harus diperhatikan dalam perjanjian kerja. Dari perumusan ini jelaslah hendaknya bahwa perjanjian perburuhan itu justru diadakan untuk menetapkan hak dan kewajiban buruh dan majikan. Perjanjian perburuhan bukanlah perjanjian kerjasama atau perjanjian kerja kolektif, pertama karena bukan perjanjian kerja yaitu perjanjian mengenai pekerjaan, dan kedua bukan perjanjian bersama atau perjanjian kolektif yaitu oleh semua buruh bersama-sama atau semua bruh secara kolektif. Karena perjanjian itu adalah hasil rundingan antara pihak-pihak yang berkepentingan, maka isinya pada umumnya telah mendekati keinginan buruh dan majikan.[13]   
Beberapa ahli telah memberikan pengertian tentang hukum perburuhan, yang dapat memberikan kemudahan untuk memahami dan mengerti persoalan hukum perburuhan.
Mr. Molenaar (Hukum Perburuhan) adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dan majikan, buruh dengan buruh, dan buruh dengan penguasa”.
Sedangkan Mr. Mok berpendapat “Hukum Perburuhan adalah hukum yang berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan di bawah pimpinan orang lain dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bergantung dengan pekerja itu”.
Mr.Soetikno dalam bukunya yang berjudul Hukum Perburuhan, mengatakan bahwa keseluruhan peraturan-peraturan hukum mengenai hubungan kerja yang mengakibatkan seseorang secara pribadi ditempatkan di bawah perintah/pimpinan orang lain dan mengenai keadaan-keadaan penghidupan yang langsung bersangkut  paut dengan hubungan kerja tersebut.  
Prof. Iman Soepomo  berpendapat bahwa “ Hukum Perburuhan adalah suatu himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah”.   
Dari pengertian-pengertian mengenai hukum perburuhan, dapat ditarik kesimpulan mengenai unsur-unsur yang termuat dalam Hukum Perburuhan, yaitu:
1.   Adanya serangkaian peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis
2.   Peraturan tersebut mengenai suatu kejadian.
3.   Adanya orang (buruh/pekerja) yang bekerja pada pihak lain (majikan).
4.   Adanya upah.[14]
Sumber hukum ketenagakerjaan/perburuhan  secara umum dapat dikatakan bahwa sumber hukum  dapat dilihat berbagai sudut antara lain:
a. Dari sudut falsafah hukum,  pertama dasar kekuatan hukum perburuhan sehingga pihak-pihak yang bersangkutan terikat padanya dengan kata lain apa sebabnya norma-norma hukum perburuhan boleh menentukan cara bagaimana sesuatu pihak harus bertingkah laku sebagai pengusaha/majikan atau sebagai buruh  dan apakah sebabnya pihak-pihak tersebut harus menghormati dan menjunjung tinggi perintah-perintah tersebut harus menghormati dan menjunjung tinggi perintah-perintah norma hukum perburuhan.
     Kedua isi hukum perburuhan dalam arti dari manakah asalnya hukum perburuhan itu dan apakah ada sesuatu ukuran atau kadar yang dapat dipakai untuk menyediakan atau menyelidiki hukum perburuhan atau untuk mengetahui  apakah isinya benar atau tidak.
 b. Dari sudut sosiologi hukum, menerangkan tentang faktor-faktor yang terdapat didalam kenyataan kemasyarakatan dan yang berperan serta dalam menentukan masalah-masalah perburuhan manakah yang harus diatur oleh hukum perburuhan. Sumber hukum perburuhan sedemikian dapat dikatakan sumber materiil, karena perhatian ditujukan pada materi atau isi hukum perburuhan itu, adapun fakrtor-faktor sosial tersebut antara lain struktur perekonomian, religi, kesusilaan, kebiasaan/adat, pendapat umum,  sistem hukum internasional menjadi pertimbangan  dalam penyusunan hukum perburuhan Indonesia.
c. Dari sudut sejarah hukum, ilmu sejarah menjelaskan hukum perburuhan dengan dua pengertian ialah:
1.   Sumber pengenaan hukum perburuhan artinya semua bentuk-bentuk hukum tersebut yang menunjukan adanya hukum perburuhan berlaku selama masa tertentu di wilayah tertentu, untuk orang-orang tertentu seperti buruh dan pengusaha dan mengenai masalah-masalah perburuhan.
2.   Sumber permasalahan hukum perburuhan artinya norma-norma hukum perburuhan positif jaman lampau yang pernah dipakai oleh pembuat undang-undang perburuhan di masa ini.  
d. Dari sudut hukum  positif, sumber hukum perburuhan menurut hukum positif arti   formal   seperti berikut ini: 
1. Undang-undang No. 1 Tahun 1951, Undang-undang No. 14 Tahun 1969, UU No, 13 Tahun 2003 dan Undang-undang No. 2 Tahun 2004.
    2. Traktat, misalnya traktat antara Indonesia dan Negara asing tentang mempekerjakan  buruh Indonesia di Negara asing tersebut, konvensi dan rekomendasi dari ILO.
   3. Kebiasaan atau hukum kebiasaan dalam hubungan perburuhan.
a.     Kebiasaan umum artinya, seluruh masyarakat mempergunakan hukum adat yang berlaku.
b.   Kebiasaan setempat artinya, norma-norma yang pada dan perhatikan hanya oleh segolongan penduduk tertentu di wilayah tertentu pula.
c.     Kebiasaan khusus atau istimewa ialah, kebiasaan yang berlaku antara buruh dan segolongan pengusaha tertentu di kota atau di desa. [15] 
Sedangkan sumber hukum perburuhan dalam arti materiil adalah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, seperti yang telah termaktub dalam ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966, kemudian diperkuat dengan  Ketetapan MPR nomor V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR nomor IX/MPR/1978. Sedangkan sumber hukum perburuhan dalam artian formal tersebut adalah sebagai berikut: Undang-undang, peraturan lain, kebiasaan, putusan, perjanjian, traktat dan doktrin pendapat para ahli. Sumber hukum perburuhan ini dimaksudkan agar kita dapat menemukan ketentuan/ aturan-aturan mengenai soal-soal perburuhan.

C. Permasalahan Hak Asasi Tenaga Kerja Dalam Hukum Perburuhan
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa para pihak yang terutama terlibat langsung sebagai pelaksana dan penerap berlakunya Hukum Perburuhan ialah para majikan sebagai pihak pemberi pekerjaan dengan imbalan tertentu (gaji/upah) dan pihak buruh atau karyawan sebagai pihak pelaksana pekerjaan tersebut dengan menerima imbalan yang tertentu (gaji/upah) tersebut. Tetapi disamping itu, antara pihak majikan dan pihak karyawan ini sebenarnya masih ada juga pihak lain yang turut mengawasi jalannya pelaksanaan atau penerapan hukum perburuhan ini, yakni pihak pemerintah (cq. Departemen Tenaga Kerja cq. Seksi  Pengawasan   Ketenagakerjaan), yang bertugas secara utama untuk senantiasa memantau, apakah pihak majikan atau pihak buruh telah melakukan kewajiban mereka terhadap satu sama lain dengan baik atau belum. Karena itu dalam pelaksanaan dan penerapan Hukum Perburuhan telah diatur bahwa pihak yang bersangkutan di dalamnya pada dasarnya ialah:
a.       Pihak majikan, yang telah bersekutu dalam jumlah tertentu dapat juga membentuk organisasi majikan.
b.      Pihak buruh atau karyawan, yang bila jumlahnya telah cukup besar dapat membentuk organisasi buruh atau organisasi karyawan.
c.       Pihak pemerintah sebagai penguasa (cq. Departemen Tenaga Kerja) yang bertugas mengatur, membimbing dan mengawasi  pelaksanaan hubungan antara para pihak tersebut di atas.
Sedangkan hal-hal yang menjadi persoalan pokok yang sudah pasti ada dalam pengaturan Hukum Perburuhan ialah:
a. Hal perjanjian kerja
b. Hal perjanjian perburuhan
c. Hal peraturan majikan.
Hubungan industrial merupakan suatu sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang dan jasa, yaitu pekerja, pengusaha dan pemerintah. Hubungan industrial yang berlaku di Indonesia disebut hubungan industrial Pancasila. Hubungan industrial Pancasila diarahkan untuk menumbuhkembangkan hubungan yang harmonis atas kemitraan yang sejajar dan terpadu di antara pelaku dalam proses produksi barang dan jasa yang didasarkan atas nilai-nilai luhur budaya bangsa yang terkandung dalam sila-sila Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Dalam melaksanakan hubungan industrial Pancasila setiap pekerja diarahkan untuk memiliki merasa ikut memiliki serta mengembangkan sikap memelihara dan mempertahankan kelangsungan usaha. Dalam melaksanakan hubungan industrial Pancasila, setiap pengusaha mengembangkan sikap memperlakukan pekerja sebagai manusia atas kemitraan yang sejajar sesuai dengan kodrat, harkat, martabat dan harga diri serta meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya. Hubungan industrial Pancasila dilaksanakan melalui sarana:
1. Serikat pekerja
2. Organisasi Pengusaha
3. Lembaga kerjasama bipartite
4. Lembaga kerjasama tripartite
5. Peraturan perusahaan
6. Kesepakatan kerja bersama
7. Penyelesaian perselisihan industrial[16]
Sebab-sebab dasar terjadinya berbagai pelanggaran majikan  terhadap hak asasi para buruh/karyawan dalam pelaksanaan dan penerapan Hukum Perburuhan, berdasarkan kenyataan yang banyak terjadi antara lain :  
1. Majikan menyuruh untuk terus menerus bekerja dari  pagi hingga jauh malam tanpa memperhatikan waktu makan, waktu istirahat dan kesehatan si buruh tersebut.
2. Majikan mempekerjakan buruh-buruh yang sudah sangat lanjut usia dan kondisinya di luar kehendak buruh tersebut atau karena paksaan si majikan tersebut. Umumnya kasus seperti ini terjadi karena latar belakang ekonomi atau si buruh berhutang kepada si majikan.
3. Majikan melarang keras si buruh untuk dapat bertemu dengan keluarganya atau siapa saja yang tidak dikenal oleh majikan, sekalipun yang datang itu ialah keluarganya.
4. Majikan melarang keras si buruh itu pulang, meskipun untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri atau merayakan Natal dan Tahun Baru.
5. Majikan sama sekali tidak memperhatikan makanan dan minuman yang sehat bagi buruhnya. Uang makan atau uang belanja makanan untuk si buruh itu diberikannya dengan seenaknya saja tanpa ada ukuran kelayakan hidup manusia.
6. Majikan tanpa kehendak dan tanpa persetujuan buruh, melaksanakan penggajian atau pengupahan dengan sistem tabung yang berarti si buruh baru menerima imbalan kerjanya setelah beberapa bulan sekali atau dalam jangka waktu berselang lebih lama.
7. Majikan menahan gaji/upah beberapa bulan terakhir dari si buruh yang sebenarnya sudah berhak menerimanya.
8. Majikan ada yang sampai menahan Ijazah atau barang-barang lain dengan maksud agar si buruh/karyawan tidak pindah kerja.
9. Majikan sering melanggar kesopanan/kesusilaan dalam perlakuannya terhadap si  
    buruh/karyawan.
10. Majikan pada dasarnya juga sangat membatasi dalam hal menunaikan ibadat agamanya.
11. Majikan sering berhutang/meminjam dahulu uang si buruh tanpa pernah mengembalikannya walaupun berulangkali si buruh memintanya.
12. Majikan tidak pernah memperhatikan dan melengkapi fasilitas hidup  si buruh dalam ukuran hidup manusia yang layak dan memadai.
13. Majikan tidak pernah bersedia menolong buruh yang sedang mengalami musibah atau kesulitan, walaupun si buruh memohon bantuan dan kebijaksanaannya.
14. Majikan hampir selalu mengorbankan dan mengkambing-hitamkan buruh dalam segala kesulitan atau masalah yang sebenarnya menjadi tanggungjawabnya.  
            Ini adalah 14 contoh pelanggaran hak asasi buruh.pekerja yang seringkali terjadi dimana-mana hal ini disebabkan karena majikan melihat si buruh/pekerja penakut dan buta hukum tidak ada organisasi pekerja di dalam tempat mereka bekerja karena jumlah mereka sedikit, perjanjian kerja secara lisan, perjanjian kerja secara tertulis tetapi isi dari perjanjian kerja dibuat oleh majikan atau sepihak,   sehingga sangat mudah untuk dibohongi, kasus seperti ini biasanya terjadi pada buruh pekerja pada pekerjaan antara lain:
a. Pembantu rumah tangga
b. Pekerja bangunan/buruh lepas
c. Perusahaan barang dan jasa yang berskala kecil.
            Pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah hal yang lumrah dalam mewarnai kasus-kasus perburuhan sehingga tidak lagi mengherankan bila itu sudah sangat sering dibahas. Tetapi larangan kerja yang sering terjadi menimbulkan masalah dalam pelaksanaan Hukum Perburuhan dan penyebab terjadinya PHK. Larangan kerja tentu digariskan oleh pihak majikan atau perusahaan terhadap satu atau beberapa orang karyawan tertentu untuk bekerja padanya karena suatu atau beberapa sebab tertentu disamping itu pengaturannya secara yuridis formal dan sampai saat ini umumnya masih berwujud sebagai kebijaksanaan-kebijaksanaan majikan/perusahaan tentu yang tertuang hanya dalam bentuk ketentuan-ketentuan pedoman kerja dan perjanjian-perjanjian kerja. Di situlah juga pada umumnya dinyatakan sebab-sebab atau latar belakang dapat diterapkan larangan kerja terhadap karyawan atau buruh yang bersangkutan, yang berarti bahwa sang karyawan tersebut harus mengundurkan diri dari tempat kerjanya itu. Larangan-larangan kerja itu   antara lain :
1. Larangan kerja karyawati yang hamil dengan sendirinya harus berhenti bekerja.
2. Larangan kerja karyawati atau karyawan itu menikah jika tempat kerja/kantor perusahaan yang sama.


3. Larangan kerja karyawati atau karyawan untuk bekerja terus pada     perusahaannya  bila suami karyawati atau isteri karyawan tersebut diketahui bekerja pada perusahaan lain yang bergerak dalam bidang usaha yang sama sebagai saingan bisnis perusahaan tempatnya bekerja.
4. Larangan kerja bagi karyawati atau karyawan untuk bekerja dalam satu perusahaan yang sama baik dalam satu manajemen perusahaan jika di ketahui masih ada hubungan keluarga atau kekerabatan.
Kasus-kasus seperti inilah yang masih rawan terjadi selama larangan kerja menjadi penyebabnya,  akan mengakibatkan pengunduran diri  buruh/karyawan dari tempat mereka bekerja dan ini belum diatur secara yuridis formal dalam dunia ketenagakerjaan dan Hukum Perburuhan Indonesia.
Perbandingan Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatur tentang:
 1. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat mengakibatkan pertentangan antara pengusaha dan gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat/pekerja buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja  dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. (pasal 1 ayat 1).
2. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya  hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama (pasal 1 ayat 2).
3. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan,dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan  dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (pasal 1 ayat 2) .
4. Perselisihan pemutusan hubungan kerja  adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak (pasal 1 ayat 4).[17]

D.  Landasan, Asas dan Tujuan
Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spriritual berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan perlu diwujudkan secara optimal sesuai dengan nilai-nilai Pancasila memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. Setiap badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum baik milik swasta maupun milik  Negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.  Haruslah memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi.
Lawrence M, Friendman berpendapat The Legal System ada 3 (tiga) faktor penegakan hukum yakni :
1. Subtansi hukum terkait dan bersangkut-paut dengan peraturan per-Undang-Undangan.
2. Struktur hukum terkait dan bersangkut-paut dengan aparat penegak hukum
3. Budaya hukum terkait dan bersangkut-paut dengan kesadaran masyarakat.    
Bila diberi pilihan ada 4 (empat) yakni:
1. Aturan hukum yang baik ; penegak hukum yang jelek (tercipta KKN)
2. Penegak hukum yang baik ; aturan hukum yang jelek (biarlah berjalan)
3. Aturan hukum jelek ; penegak hukum jelek (hasilnya konyol)
4. Aturan hukum yang baik ; penegak hukum yang baik (inilah idealnya yang diharapkan dan didambakan).[18] 
Apabila kekuasaan dihubungkan dengan hukum maka paling sedikit ada 2 (dua) hal yang menonjol yaitu:
1. Pembentuk, penegak, maupun pelaksana hukum adalah para warga masyarakat yang mempunyai kedudukan yang mengandung unsur-unsur kekuasaan. Akan tetapi mereka tak dapat mempergunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang karena ada pembatasannya tentang peranan yang ditentukan oleh cita-cita keadilan masyarakat dan oleh pembatasan-pembatasan praktis dari penggunaan kekuasaan itu sendiri. Efektifitas pelaksanaan hukum sedikit banyak ditentukan oleh sahnya hukum tadi, artinya apakah hukum tadi dibentuk dan dlaksanakan oleh orang-orang atau badan yang benar-benar mempunyai wewenang, yakni kekuasaan yang diakui masyarakat. Dalam arti inilah hukum dapat mempunyai pengaruh untuk membatasi kekuasaan. Akan tetapi sistem hukum  merupakan suatu sarana bagi penguasa untuk mengadakan tata tertib dalam masyarakat.
2. Sistem hukum menciptakan dan merumuskan hak dan kewajiban beserta     Pelaksananya dalam hal ini ada hak warga masyarakat yang tak dapat dijalankan karena yang bersangkutan tidak mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya dan sebaliknya ada hak-hak yang dengan sendirinya didukung oleh kekuasaan-kekuasaan tertentu. Maka hal itu pada umumnya, adanya kekuasaan untuk melaksanakan hak-hak tersebut melalui lembaga-lembaga hukum tertentu, oleh karena itu hukum tanpa kekuasaan untuk melaksanakannya merupakan hukum yang mati.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kekuasaan dan hukum mempunyai hubungan timbal balik di satu pihak hukum memberi batas kekuasaan, dan di lain pihak kekuasaan merupakan suatu jaminan berlakunya hukum. Melalui suatu sistem hukum, hak dan kewajiban ditetapkan untuk warga masyarakat yang menduduki posisi tertentu atau kepada seluruh masyarakat. Hak dan kewajiban mempunyai sifat timbal balik artinya hak seseorang menyebabkan timbulnya kewajiban pada pihak lain dan sebaliknya. Dengan demikian hukum  adalah refleksi dari pembagian kekuasaan dan memberi pengaruh terhadap sistem lapisan sosial dalam masyarakat.[19]    
Salah satu titik awal refleksi studi sosiologi hukum adalah menyoroti dan menjelaskan jurang menganga antara idealitas hukum yang dicita-citakan dengan kondisi senyatanya hukum ditengah-tengah masyarakat (legal gap). Realitas bekerjanya hukum di dua dunia yaitu antara harapan yang dirumuskan dalam undang-undang dengan dunia implementasinya dalam masyarakat seringkali bertolak belakang. Perbedaan antara harapan dan realitasnya tersebut sangat terkait dengan faktor dan variable sosial lainnya. Relasi dan silang pengaruh tersebut harus dipahami bahwa hukum tidak kedap pengaruh dari kekuatan yang ada di tengah-tengah masyarakat.[20]               
Beberapa peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan yang berlaku selama ini, termasuk sebagian yang merupakan produk kolonial, menempatkan pekerja pada posisi yang kurang menguntungkan dalam pelayanan penempatan tenaga kerja dan sistem hubungan industrial yang menonjolkan perbedaan kedudukan dan kepentingan sehingga dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masa kini dan tuntutan masa yang akan datang.
Peraturan perundang-undangan tersebut adalah:
1. Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan di Luar Indeonesia (Staatblad tahun 1887 No. 8);
1.   Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak dan Kerja Malam bagi Wanita (Staatblad Tahun 1925 Nomor 647);
2.   Ordonansi Tahun 1926 Peraturan Mengenai Kerja Anak-Anak dan Orang Muda di atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
3.   Ordonansi Tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk mengatur Kegiatan-kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staadblad Tahun 1936 Nomor 208);
4.   Ordonansi tentang Pemulangan Buruh yang Diterima atau Dikerahkan dari Luar Indonesia (Staadblad Tahun 1939 Nomor 545);
5.   Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak (Staadblad Tahun 1949 Nomor 8);
6.   Undang-undang Nonor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);
7.   Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 598a);
8.   Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing (Lembaran Negara (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8);
9.   Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana ( Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);
10.  Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan dan Badan yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67);
11.  Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912);
12.  Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun n1997 Nomor 73, Tambahan Negara Nomor 3702);
13.  Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791);
14.  Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042).
Peraturan perundang-undangan tersebut di atas dipandang perlu untuk dicabut dan diganti dengan Undang-undang yang baru. Ketentuan yang masih relavan dari peraturan perundang-undangan yang lama ditampung dalam undang-undang ini. Peraturan pelaksanaan dari undang-undang yang telah dicabut masih tetap berlaku sebelum ditetapkannya peraturan baru sebagai pengganti.
Undang-undang ini di samping untuk mencabut ketentuan yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan zaman, dimaksudkan juga untuk menampung perubahan yang sangat mendasar di segala aspek kehidupan bangsa Indonesia dengan dimulainya era reformasi tahun 1998.
Di bidang ketenagakerjaan internasional, penghargaan terhadap hak asasi manusia di tempat kerja dikenal melalui 8 (delapan) konvensi dasar International Labour Organization (ILO). Konvensi dasar ini terdiri dari 4 (empat) kelompok, yaitu:
1.   Kebebasan Berserikat (Konvensi ILO Nomor 87 dan Nomor 98);
2.   Diskriminasi (KIonvensi ILO Nomor 100 dan Nomor 111);
3.   Kerja Paksa (Konvensi ILO Nomor 29 dan Nomor 105; dan
4.   Perlindungan Anak (Konvensi ILO Nomor 138 dan Nomor 182).
Komitmen bangsa Indonesia terhadap penghargaan pada hak asasi manusia di tempat kerja antara lain disujudkan dengan meratifikasi kedelapan konvensi dasar tersebut. Sejalan dengan ratifikasi konvensi mengenai hak dasar tersebut, maka Undang-undang Ketenagakerjaan yang disusun ini harus pula mencerminkan ketaatan dan penghargaan pada ketujuh prinsip dasar tersebut.
Undang –undang ini antara lain memuat:
1.   Landasan, asas dan tujuan pembangunan ketenagakerjaan;
2.   Perencanaan Tenaga Kerja dan informasi ketenagakerjaan;
3.   Pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh;
4.   Pelatihan kerja yang diarahkan untuk meningkatkan dan mengembangkan ketrampilan serta keahlian tenaga kerja guna meningkatkan produktivitas kerja dan produktivitas perusahaan.
5.   Pelayanan penempatan tenaga kerja dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja secara optimal dan penempatan tenaga kerja pada pekerjaan yang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dan masyarakat dalam upaya perluasan kesempatan kerja;
6.   Penggunaan tenaga kerja asing yang tepat sesuai dengan kompetensi yang diperlukan;
7.   Pembinaan hubungan industrial yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila diarahkan untuk menumbuhkembangkan hubungan yang harmonis, dinamis dan berkeadilan antar para pelaku proses produksi;
8.   Pembinaan kelembagaan dan sarana hubungan industrial, termasuk perjanjian kerja bersama, lembaga kerja sama bipartite, lembaga kerja sama tripartite, pemasyarakatan hubungan industrial dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
9.   Perlindungan pekerja/buruh, termasuk perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/buruh untuk berunding dengan pengusaha, perlindungan keselamatan, dan kesehatan kerja, perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan penyandang cacat, esrta perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial tenaga kerja;
10.  Pengawasan ketenagakerjaan dengan maksud agar dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan ini benar-benar dilaksanakan sebagaimana mestinya.[21]

E. Hakekat, Konsepsi Hak Asasi Manusia (HAM) Tenaga Kerja Indonesia
Hak asasi yaitu hak yang paling dasar atau pokok pada setiap orang, seperti hak hidup dan hak mendapat perlindungan[22]. Sedangkan Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki oleh setiap manusia sejak kelahirannya (bukan diberikan masyarakat atau negara), seperti hak untuk hidup, hak bebas mengeluarkan pendapat, hak mendapat perlakukan adil, hak memperoleh perlindungan, dan sebagainya.[23]  Sedangkan John Locke  memandang manusia sebagai makhluk sosial yang padanya melekat hak-hak asasi yang diberikan oleh alam, yang meliputi hak hidup, hak atas kemerdekaan  dan hak atas milik (life, liberty, and property)[24].  Hak Asasi Manusia (HAM) menurut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 di atur dalam Bab X Pasal 28 -A s/d Pasal 28 –J.[25] Sebagaimana telah berhasil dirumuskan dalam naskah Perubahan kedua UUD 1945, ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia telah mendapatkan jaminan konstitusional yang sangat kuat dalam Undang-Undang Dasar. Sebagian besar materi Undang-Undang Dasar ini sebenarnya berasal dari rumusan undang-undang yang telah disahkan sebelumnya, yaitu Undang-Undang Tentang Hak Asasi Manusia. Jika dirumuskan kembali, maka materi yang sudah diadopsikan kedalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945.[26]
 Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk  TYME dan merupakan anugerah-NYA, yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (pasal 1 Ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999).[27]  
Hak Asasi Manusia (HAM) menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 adalah
a. hak untuk hidup
b. hak berkeluarga
c. hak mengembangkan diri
d. hak memperoleh keadilan
e. hak atas kebebasan pribadi
f. hak atas rasa aman
g. hak atas kesejahteraan
h. hak turut serta dalam pemerintahan
i. hak wanita
j. hak anak[28]
Dalam perjalanan waktu Hak Asasi Manusia (HAM) sudah memasuki generasi ketiga. Generasi pertama adalah hak-hak sipil generasi kedua adalah hak-hak sosial dan generasi ketiga memuat hak-hak untuk berkembang (ontwikkeling), kedamaian (vrede), lingkungan yang bersih, kekayaan alam yang dihuni (eigen natuurlijke bodemaschatten). [29]  
Indonesia sejak reformasi tahun 1998 dalam bidang hukum ketenagakerjaan dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu tenaga kerja serta kesejahteraan tenaga kerja. Reformasi mengandung makna pengertian untuk memperbaiki kekurangan sebelumnya kemudian dijalankan kearah perbaikan menuju ke tingkat kesempurnaan. Dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja memiliki peran dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dalam mencapai tujuan pembangunan ketenagakerjaan, diarahkan untuk meningkatkan kualitas dan kontribusinya dalam pembangunan serta melindungi hak dan kepentingannya. Pemerintah diharapkan menyusun dan menetapkan perencanaan tenaga kerja agar dapat dijadikan dasar  dan acuan dalam menyusun kebijakan strategis, dan implementasi program pembangunan ketenagakerjaan meliputi:
1. Penduduk dan tenaga kerja
2. Kesempatan kerja
3. Pelatihan kerja
4. Produktivitas tenaga kerja
5. Hubungan industrial
6. Kondisi lingkungan kerja
7. Pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja
Informasi ketenagakerjaan dari pihak yang terkait, instansi pemerintah, instansi swasta. Tatacara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja disusun secara ilmiah dan objektif.[30] 
            Dalam hubungan ini, konsep dan prosedur hak asasi manusia seharusnya dikaitkan dengan persoalan-persoalan  sebagai berikut :
1.   Struktur kekuasaan dalam hubungan antara Negara yang dewasa ini dapat dikatakan sangat timpang, tidak adil, dan cenderung, hanya menguntungkan Negara-negara maju ataupun Negara-negara yang menguasai dan mendominasi proses pengambilan keputusan dalam berbagai forum dan badan-badan internasional baik yang menyangkut kepentingan politik maupun kepentingan ekonomi dan kebudayaan.
2.   Struktur kekuasaan yang tidak demokratis di lingkungan internal negara-negara yang menerapkan sistem otoritarianisme yang hanya menguntungkan segelintir kelas penduduk yang berkuasa ataupun kelas penduduk yang menguasai sumber-sumber ekonomi.
3.   Struktur hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara pemodal dengan pekerja dan antara pemodal beserta manajemen produsen dengan konsumen di setiap lingkungan dunia usaha industri, baik industri primer, industri manufaktur maupun industri jasa.
            Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya pola hubungan atas-bawah, baik pada peringkat lokal, nasional, regional maupun global antara lain faktor kekayaan dan sumber-sumber ekonomi, kewenangan politik, tingkat pendidikan atau kecerdasan rata-rata, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, citra nama baik, dan kekuatan fisik termasuk kekuatan militer.[31]     









BAB III
METODE PENELITIAN


A.    Pendekatan Masalah
Metode penedekatan yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini sesuai dengan permasalahan yang diangkat adalah pendekatan yuridis normatif, di mana berdasarkan pendekatan tersebut, maka penelitian ini meliputi lingkup inventarisasi hukum positif, yang merupakan kegiatan pendahuluan dari seluruh proses dalam penelitian ini.
Pendekatan Yuridis dimaksudkan sebagai usaha mendekatkan masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang normatif. Pendekatan hukum doktrinal bersifat perspektif, yakni mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum.  Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.  Penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum. Selanjutnya bahan hukum yang digunakan dalam pendekatan yuridis normatif yakni pengertian-pengertian dasar yang terdapat dalam hukum perdata lebih khusus lagi hukum tentang Ketenagakerjaan.[32]

B.     Pengumpulan Bahan Hukum
Mengingat pendekatan ini merupakan pendekatan yuridis normatif, maka pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan prosedur identifikasi dan inventarisasi bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder serta bahan hukum tertier secara kritis melalui proses klasifikasi secara logis sistematis sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.
Bahan-bahan hukum primer dimaksud yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga-kerjaan.
Bahan-bahan hukum Sekunder meliputi hasil-hasil seminar, karya ilmiah, hasil penelitian, serta segala literature yang ada kaitannya dengan obyek penelitian ini.
Bahan hukum Tertier berupa Kamus umum dan Kamus Hukum.

C.    Teknik Analisis
Bahan-bahan hukum yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis secara normatif dengan menggunakan logika berpikir secara deduksi yang didasarkan pada aspek hukum dogmatif. Hasil penelitian ini akan dapat digunakan untuk pembaharuan dan pembangunan hukum, khususnya yang berhubungan dengan ketentuan perundang-undangan Ketenagakerjaan.[33]


BAB IV
JADWAL PENELITIAN
Penelitian ini di rencanakan dalam waktu 3 (tiga) bulan dengan jadwal sebagai berikut :

No.
KEGIATAN
BULAN I
BULAN II
BULAN III

Per Mingguan
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
Persiapan
X
X
X









2
Pelaksanaan



X
X
X
X





3
Penulisan Laporan







X
X
X


4
Seminar










X

5
Laporan Akhir











X











BAB V
PRAKIRAAN BIAYA PENELITIAN


1.
Penelitian awal untuk penyusunan proposal
Rp. 2.500.000,-
2.
Penyusunan Proposal
Rp. 2.500.000,-
3.
Pengadaan literature dan fotocopy
Rp. 7.500.000,-
4.
Pengolahan dan anakisa data
Rp. 5.000.000,-
5.
Pembuatan laporan hasil penelitian
Rp. 5.000.000,-
6.
Draf tesis, perbaikan tesis dan penggandaan tesis
Rp. 4.500.000,-
7
Alat tulis menulis
Rp. 2.000.000,-

J U M L A H
Rp. 29.000.000,-










DAFTAR  PUSTAKA


Bahan Sekunder
1. Prof.Iman Soepomo SH., Pengantar Hukum Perburuhan, penerbit Djamban 1983.

2. Prof.Dr.Jimly Asshiddiqie, SH,Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi,  
    Penerbit Sinar Grafika 2011.

3. Dr. B Siswantosastrohadiwiryo,Manajemen Tenaga Kerja Indonesia
    Pendekatan  Administratif dan operasional, Penerbit Bumi Aksara 2003.

4. Prof.R.Subekti,SH,Aneka Perjanjian, Penerbit PT.Citra Aditya Bandung 1995

5. Prof.Dr.Soerjono Soekanto SH. MA,Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Penerbit PT. Rajagrafindo Persada 2009

6. Prof.Dr.Satjipto Raharjo SH, Sosiologi Hukum, Centa PublishingYogyakarta 2010.

7. Sendjun H, Manulang, SH.,Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan di
    Indonesia,penerbit Rineka Cipta 1995.

8. Lalu Husni, SH., M.Hum.,Penganta Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT   
    RajaGrafindo Persada Jakarta, 2003.

9. Zainal Asikin, SH.,SU.,(Ed), H.Agusfiar Wahab,SH. LaluHusni, SH,
    ZaeniAsyhadie, SH, Dasar-dasarHukumPerburuhan, PT RajaGrafindo Persada
    Jakarta 1993.

10. Tim dosen UGM, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma Yogyakarta2002.

13. Burhan Ashshofa SH, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta Jakarta 1998.

14. Darwan Prinst, SH,Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Penerbit PT. Citra
     Aditya Bakti Bandung






Bahan Primer

15. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Perubahan ke I,II,III dan
      IV,GBHN, Penerbit Permata Press.

16. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
      Ketenagakerjaan, BP Panca Usaha Putra Jakarta 2003.

17. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004, Tentang       
      PenyelesaianPerselisihan Hubungan Industrial, Penerbit Karina Surabaya  
      2004.

18. Prof. Iman Soepomo, SH, Hukum Perburuhan Undang-Undang dan
      Peraturan- Peraturan, Penerbit Djambatan 2001.

19. Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

20. Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi
     Manusia.


 Bahan Tertier
21. Prof. Dr. Donald A.Rumokoy, SH.,MH, Kamus umum politik dan hukum,
      Jala Permata Aksara, Jakarta 2010.

22. Prof.Dr.Donald A.Rumokoy, SH.,MH,Hak Asasi Manusia (HAM) dan
      Otonomi Pemerintahan Daerah, Materi kuliah Prodi IHK Pascasarjana Unsrat
     2010.

23. Dr.Andi Abu Ayyub Saleh, SH.MH,Perenungan Hukum, bahan materi kuliah
      Pasca Sarjana Unsrat Prodi IHK 2010


24. Tim Pengajar,Bahan Ajar Hukum Ketenagakerjaan (perburuhan) MKB.315,
      Fakultas Hukum  Unsrat Manado.


[1] Yasir Arafat,Undang-Undang Dasar 1945 dan perubahannya ke I,II,III,dan IV, Penerbit Permata Press edisi terbaru, hal 27-28
[2] Pasal 1 Ayat 2 dan 3 UU RI No 13 Tahun 2003, BP Panca Usaha Putra Jakarta 2003, hal  4
[3]Zainal Asikin, SH.,SU.,(Ed), H.Agusfiar Wahab,SH.LaluHusni,SH,ZaeniAsyhadie,SH,Dasar-dasarHukumPerburuhan, PT RajaGrafindo Persada Jakarta 1993, hal 31
[4] Lalu Husni, SH., M.Hum.,Penganta Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT RajaGrafindo Persada Jakarta, 2003, hal 39
[5] Prof.R.Subekti,SH,Aneka Perjanjian,Penerbit PT.Citra Aditya Bakti Bandung 1995, hal 60.
[6]Darwan Prinst, SH,Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung 2000,   hal 23.
[7] Ibid, hal 39-41.
[8] Ibid, hal 41
[9] UU RI No 13 Tahun 2003, BP Panca Usaha Putra Jakarta 2003
[10] Sendjun H, Manulang, SH.,Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, penerbit Rineka Cipta 1995, hal 66-67.
[11]  Ibid, hal 67-68
[12] Tim Pengajar,Bahan Ajar Hukum Ketenagakerjaan (perburuhan) MKB.315, Fakultas Hukum  Unsrat Manado, hal 38
[13] Prof.Iman Soepomo SH., Pengantar Hukum Perburuhan, penerbit Djamban 1983, hal 57
[14]Zainal Asikin, SH.,SU.,(Ed), H.Agusfiar Wahab,SH.LaluHusni,SH,ZaeniAsyhadie,SH,Dasar-dasarHukumPerburuhan, PT   RajaGrafindo Persada Jakarta 1993, hal  2-3.

[15] Tim Pengajar,Bahan Ajar Hukum Ketenagakerjaan (perburuhan) MKB.315, Fakultas Hukum Unsrat Manado, hal 12-14

[16] Dr.B Siswantosastrohadiwiryo,Manajemen Tenaga Kerja Indonesia Pendekatan Administratif dan operasional, Penerbit Bumi Aksara 2003, hal 5-6
[17] UU RI No.2 Tahun 2003, Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,penerbit Karina Surabaya 2004, hal 3.
[18] Dr.Andi Abu Ayyub Saleh, SH.MH,Perenungan Hukum, bahan materi kuliah Pasca Sarjana Unsrat Prodi IHK 2010, hal  5
[19] Prof.Dr.Soerjono Soekanto SH. MA,Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Penerbit PT. Rajagrafindo Persada 2009, hal 92-93
[20] Prof.Dr.Satjipto Raharjo SH, Sosiologi Hukum, Centa PublishingYogyakarta 2010, hal Vi
[21] UU RI No.13 Tahun 2003,Tentang Ketenagakerjaan,Penerbit BP Panca Usaha Putra 2003, hal76-80.
[22] Prof.Dr.Donald A.Rumokoy, SH.,MH, Kamus umum politik dan hukum, Jala PermataAksara, Jakarta 2010 hal ,224,
[23] Ibid
[24] Tim dosen UGM, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma Yogyakarta, edisi reformasi 2002, hal 13.
[25] Yasir Arafat,Undang-Undang Dasar 1945 dan perubahannya ke I,II,III,dan IV, Penerbit
   Permata Press edisi terbaru, hal 27-31
[26] Prof.Dr.Jimly Asshiddiqie, SH,Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, Penerbit Sinar Grafika 2011, hal 201. 
[27] Prof.Dr.Donald A.Rumokoy, SH.,MH,Hak Asasi Manusia (HAM) dan Otonomi Pemerintahan
   Daerah, Materi kuliah Prodi IHK Pascasarjana Unsrat 2010.hal 6
[28] Prof.Dr.Donald A.Rumokoy, SH.,MH,Hak Asasi Manusia (HAM) dan Otonomi Pemerintahan
   Daerah, Materi kuliah Prodi IHK Pascasarjana Unsrat 2010.hal 30.
[29] Prof.Dr.Satjipto Raharjo SH, Sosiologi Hukum, Centa PublishingYogyakarta 2010, hal 172
[30] Dr.B Siswantosastrohadiwiryo, Manajemen Tenaga kerja Indonesia Pendekatan Administratif dan Operasional, Penerbit Bumi Aksara 2003, hal 4-5
[31] Prof.Dr.Jimly Asshiddiqie, SH,Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, Penerbit Sinar
   Grafika 2011, hal 225.
[32] Burhan Ashshofa SH, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta Jakarta 1998, hal 103-116
[33] Ibid