"

a

Senin, 12 September 2011

TUGAS KULIAH-PASCA


Tugas Mata kuliah:
Hukum Hak Milik Intelektual
Dosen Pengasuh Mata Kuliah: Prof.
Prof.Dr. Pieter Mahmud, SH.LLM.
Dr. Merry E. Kalalo, , SH.MH.
Dr. Jemmy Sondakh, SH.MH.
Judul Makalah:

PERLINDUNGAN HUKUM PARA PIHAK DALAM BISNIS FRANCHISE (WARALABA)

Di susun oleh :
GoodFather

Program Studi Pasca Sarjana
Ilmu Hukum (Hukum Bisnis)
Universitas Sam Ratulangi manado 2011

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, dengan bimbingannya Penulis dapat menyelesaikan Tugas Makalah sebagai salah satu syarat untuk dapat lulus dalam Mata Kuliah Hukum Hak Milik Intelektual dari Dosen Pengasuh mata kuliah ini, yaitu : Prof.Dr.Pieter Mahmud, SH.LLM.,
Dr. Merry E. Kalalo, , SH.MH.
Dr. Jemmy Sondakh, SH.MH.
Dengan Judul materi yang penulis angkat dalam makalah ini adalah :
“PERLINDUNGAN HUKUM PARA PIHAK DALAM BISNIS FRANCHISE (WARALABA) “
Dalam penulisan dan pemilihan judul ini dibuat dengan maksud agar dalam makalah ini penulis dan rekan-rekan mahasiswa yang membaca makalah ini dapat memahami akan Perlindungan hukum para pihak dalam format bisnis Franchise atau waralaba, kepastian hukum dalam format waralaba diatur dalam PP no. 42 tahun 2007 tentang waralaba, dimana dalam perikatan salah satu pihak diberikan hak manfaat mengunakan kekayaan intelektual yaitu Lisensi HAKI dalam waralaba. Penulis menyadari bahwa makalah yang dibuat masih jauh dari kesempurnaan kiranya nanti sangat diharapkan kepada, khususnya Dosen Pengasuh mata kuliah ini, dan rekan mahasiswa dapat memberikan kritikan, saran, perbaikan untuk kesempurnaan makalah ini. Atas perhatiannya diucapkan terima kasih, Manado Oktober 2011.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Globalisasi ekonomi dunia sebagai suatu fenomena pada dekade terakhir ini tidak bisa dihindari. Kehadiran Indonesia dalam peta ekonomi dunia, menuntut kemampuan untuk berkembang sebagai suatu kekuatan ekonomi baru dari dunia ketiga. Perkembangan ekonomi yang begitu cepat menuntut kesiapan dan kemampuan pranata hukum dalam mengikuti perkembangan ekonomi sebagai akibat dari globalisasi ekonomi dunia tersebut. Salah satu fenomena yang nyata dari pertumbuhan ekonomi akibat globalisasi ekonomi dunia adalah meningkatnya kebutuhan perusahaan-perusahaan terhadap modal dan kebutuhan tersebut menuntut struktur permodalan yang lebih kompleks.
Investasi dalam era globalisasi ekonomi dunia bukan hanya dalam dalam Directinvestmen ataupun equityinvestment (investasi alam bentuk penyertaan saham secara formal) tetapi investasi dalam bentuk penyertaan modal secara informal. Telah diketahui bahwa bentuk-bentuk usaha persekutuan dan perseroan merupakan “Assosiasi Modal” yang dibentuk karena suatu aktivitas usaha yang akan dijalankan secara terus menerus, memerlukan modal yang besar yang mungkin tidak dapat dipikul oleh seseorang saja, sehingga modal usaha tersebut perlu dikumpulkan dari beberapa orang. Penyertaan modal usaha dalam bentuk primair merupakan bentuk penyertaan modal/saham yang dipenuhi setorannya dengan uang tunai. Perkembangan lebih lanjut dari penyertaan modal tersebut adalah dalam bentuk penyertaan modal secara informal seperti dalam bidang Licensing, Franchising maupun Technical Assistance, salah satu bentuk penyertaan modal secara informal. Pada bentuk penyertaan modal ini pihak yang akan melakukan investasi dalam suatu usaha/perusahaan tidak lagi melakukan penyertaan modal/saham dalam bentuk setoran tunai ataupun memasukkan sesuatu barang/benda yang berwujud, melainkan cukup menyerahkan penggunaan hak milik intelektual (Intelectual Property Right) kepada suatu perusahaan/badan usaha berdasarkan suatu perjanjian. Bentuk penyertaan modal inilah yang saat ini dikenal dengan nama Waralaba (Franchise).
1.2. Perumusan Masalah
Sesuai dengan judul makalah ini “Perlindungan Hukum Para Pihak dalam Bisnis Franchise (Waralaba), dalam perumusan masalah penulis lebih menekankan membahas tentang Linsensi Haki dalam Waralaba yaitu :
 pemberian izin pemanfaatan atau penggunaan HAKI yang bukan pengalihan hak
 perlindungan hukum dalam perjanjian lisensi HAKI dan Waralaba.
1.3. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif melalui kajian pustaka yang ada kaitan dengan judul dalam makalah ini. Data yang terkumpul dari berbagai sumber disusun dalam satu struktur klasifikasi kemudian dianalisa dengan mengunakan metode deskriptif yaitu memaparkan kesimpulan-kesimpulan umum yang bersumber dari hasil kajian, analisis data tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN
Perlindungan Hukum Para Pihak dalam Bisnis Franchise (Waralaba)
1. Waralaba (Franchise)
Waralaba atau Franchising adalah salah satu strategi pemasaran dari banyak kemungkinan cara memasarkan usaha. Waralaba adalah sebuah bentuk jaringan bisnis, jaringan yang terdiri dari banyak pengusaha yang bekerja dengan sebuah sistem yang sama. Pada format bisnis ini, perusahaan yang menerima penyertaan modal secara informal tersebut diberi izin oleh pemilik hak milik intelektual untuk menggunakan dan memanfaatkan hak atas merek, logo perusahaan atau nama dagang atau paten termasuk proses produksi dan proses pengoperasian bisnis. Pada bisnis dengan format Franchise ini yang diinvestasikan adalah hak untuk memakai proses produksi, proses pengoperasian bisnis, merek atau nama dagang atau paten yang sudah terkenal dan teruji kecangihannya. Salah satu keuntungan bisnis franchise ini adalah Penerima Waralaba (Franchisee) tidak perlu lagi bersusah payah mengembangkan usahanya dengan membangun citra yang baik dan ternama. Ia cukup menumpang pada pamor yang sudah terkenal dari pemilik waralaba (franchisor), sehingga dengan demikian penerima waralaba (franchisee) yang pada umumnya (relative) adalah pengusaha kecil akan dapat menikmati kesuksesan dan keberuntungan dari perusahaan yang berskala besar tanpa harus melaksanakan sendiri suatu riset dan pengembangan, pemasaran dan promosi yang biasanya memerlukan biaya-biaya yang sangat besar yang tidak mungkin dipikul oleh pengusaha kecil tersebut. Oleh karena sistem yang disediakan tersebut, seorang pemilik modal/perusahaan tidak harus memulai usahanya dari nol, sehingga risiko kegagalan usaha dari pemilik modal/perusahaan menjadi sangat kecil. Dengan keuntungan dan keunggulan yang ditawarkan oleh model bisnis dengan format Franchise tersebut sehingga banyak masyarakat pemilik modal yang memang pada mulanya sudah menyiapkan dananya untuk berusaha menjadi tertarik untuk menginvestasikan modalnya ke dalam format bisnis ini tanpa memperhatikan lagi sisi-sisi kelemahan dan risiko atas bisnis ini. Meskipun risiko kegagalan usaha dari pemilik modal sangat kecil namun bukan berarti bahwa format bisnis ini bebas dari risiko.
Bisnis waralaba ini didasarkan atas suatu perjanjian, yaitu perjanjian kerjasama antara Terwaralaba (Franchisee) dengan Pewaralaba (Franchisor), sehingga sering menimbulkan konflik karena hal-hal yang sudah diperjanjikan yang sudah disetujui bersama tidak dipenuhi oleh salah satu pihak, misalnya janji Franchisor untuk memberikan training, melakukan pendampingan manajemen dalam hal pembukuan ataukah Franchisee yang tidak memenuhi kewajaiban membayar royalty tepat waktu dan tidak mematuhi sistem operasional perusahaan (SOP) yang dapat mengakibatkan rusaknya standardisasi yang telah ditetapkan oleh Franchisor, yang jika hal tersebut tidak dipenuhi, maka akan timbul masalah.
Waralaba pada prinsipnya adalah kerjasama investasi dalam menjalankan bisnis, sehingga keberhasilannya sangat tergantung pada kerjasama yang baik antara si penerima waralaba (franchisee) dan pemberi waralaba (franchisor) dengan saling memperhatikan hubungan antara keduanya yang menyangkut hak dan kewajiban. Untuk itu pemilihan franchisee sebagai mitra/partner menjadi titik penentu berhasil tidaknya bisnis ini karena franchisee yang akan menjalankan usaha franchisor, sehingga franchisee haruslah orang yang tepat dan dapat dipercaya, harus ikut terlibat bersama-sama dan maju bersama dalam satu visi dan misi usaha yang sama dengan kata lain yang mempunyai cara pandang (paradigma) yang sama dalam mengembangkan usaha, sebab salah memilih franchisee bisa berbahaya karena franchisee yang tidak tepat bisa menjadi faktor penghambat dalam mengembangkan usaha, bisa merusak citra merek franchisor, mencuri sistem bisnis franchisor dan menerapkannya dalam usaha yang sejenis, sehingga menjadi kompetitor bagi franchisor. Di sisi lain hal-hal yang dapat merugikan dan tidak disadari oleh franchisee adalah jika franchisor membuka usaha baru dengan merek yang baru namun jenis usaha yang sama sehingga menjadi pesaing dan berkompetisi dengan usaha franchise yang telah diserahkan kepada penerima waralaba (franchisee).Dalam era pembangunan seperti yang sedang digalakkan oleh bangsa Indonesia dewasa ini, maka perlindungan hukum bagi masyarakat pelaku usaha ~ khususnya investor ~ perlu mendapat perhatian agar pemerataan hasil-hasil pendapatan dapat dinikmati dengan aman, sah dan tidak perlu menimbulkan masalah hukum dikemudian hari. Ini berarti bahwa format bisnis waralaba (franchise) sesungguhnya memiliki satu aspek yang didambakan baik oleh pengusaha pemberi waralaba (franchisor) maupun mitra usahanya yaitu penerima waralaba (franchisee) yaitu masalah kepastian dan perlindungan hukum.
Berdasarkan masalah-masalah yang dikemukakan tersebut, menunjukkan bahwa format bisnis waralaba ini menyimpan potensi konflik. Bertitik tolak dari uraian latar belakang masalah seperti tersebut diatas, maka permasalahan pokok yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut :
 Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum bagi pemberi waralaba (franchisor) atas kekayaan intelektual yang dimilikinya.
 Sejauh mana peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bisnis waralaba dalam memberikan perlindungan hukum bagi penerima waralaba (franchisee) sebagai investor yang menginvestasikan modalnya pada bisnis ini.
1.2. Lisensi HAKI dan Waralaba (Franchise)
Lisensi HAKI adalah suatu bentuk pemberian izin pemanfaatan atau penggunaan HAKI, yang bukan merupakan pengalihan hak yang dimiliki oleh pemilik Lisensi kepada Penerima Lisensi, dengan imbalan berupa royalti . Dalam pengertian ini bahwa seorang penerima Lisensi adalah independen terhadap pemberi Lisensi, dalam pengertian bahwa penerima Lisensi menjalankan sendiri usahanya dengan memanfaatkan HAKI milik pemberi Lisensi, dalam hal ini penerima Lisensi membayar Royalti kepada pemberi Lisensi.
Waralaba atau Franchise juga mengandung unsur-unsur yang sama dengan Lisensi hanya saja Waralaba lebih menekankan pada pemberian hak untuk menjual produk berupa barang atau jasa dengan memanfaatkan merek dagang milik Franchisor (pemberi waralaba) dengan kewajiban pada pihak Franchisee (penerima waralaba) untuk mengikuti metode dan tata cara atau prosedur yang telah ditetapkan oleh Pemberi Waralaba. Dalam kaitan pemberian izin dan kewajiban pemenuhan standar, Pemberi Waralaba akan memberikan bantuan pemasaran, promosi maupun bantuan teknis lainnya agar Penerima Waralaba dapat menjalankan usahanya dengan baik. Menurut Munir Fuady (1997) bisnis franchise atau waralaba memiliki beberapa karakteristik yuridis, yaitu:
 memiliki 3 unsur dasar yaitu 1. Franchisor, 2. Franchisee, 3. Kegiatan Franchise
 produk bisnis waralaba bersifat unik
 memiliki konsep bisnis total: product, price, place, promotion (konsep P4)
 franchisee memakai atau menjual system, produk, dan service dari franchisor
 franchisor menerima fee dan royalty
 adanya pelatihan manajemen dan skill
 adanya pemberian Lisensi merek dagang, paten, hak cipta
 adanya bantuan pendanaan dari franchisor
 pemberian produk langsung dari franchisor
 bantuan promosi dan periklanan dari franchisor
 pelayanan pemilihan lokasi atay franchisor
 daerah pemasaran yang eksklusif
 pengendalian / penyeragaman mutu
 mengandung unsure merek dan system bisnis
1.3. Bentuk Bisnis Waralaba
Dalam bentuknya sebagai bisnis waralaba memiliki 2 jenis kegiatan yaitu :
a. Waralaba produk dan merek dagang
Waralaba produk dan merek dagang adalah suatu bentuk waralaba yang paling sederhana, dalam waralaba produk dan merek dagang pemberi waralaba memberikan hak kepada penerima waralaba untuk menjual produk yang telah dikembangkan oleh pemberi waralaba yang disertai dengan pemberian izin menggunakan untuk menggunakan merek dagang milik pemberi waralaba. Atas pemberian izin penggunaan merek dagang tersebut biasanya pemberi waralaba meperoleh suatu bentuk pembayaran royalty dimuka dan selanjutnya pemberi waralaba memperoleh keuntungan (disebut dengan royalty berjalan) melalui penjualan produk yang diwaralabakan. Dalam bentuknya yang sangat sederhana ini, waralaba produk dan merek dagang seringkali mengambil bentuk yaitu :
 Keagenan
 Distributor atau lisensi penjualan

b. Waralaba Format Bisnis
Waralaba format bisnis adalah menurut Martin Mendelson dalam buku Franchising, petunjuk praktis bagi franchisor dan franchisee adalah pemberian sebuah lisensi oleh seorang (pemberi waralaba) kepada pihak lain (penerima waralaba) dimana lisensi tersebut memberi hak kepada penerima waralaba untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang atau nama dagang pemberi waralaba dan untuk menggunakan keseluruhan paket yang terdiri dari seluruh elemen yang diperlukan untuk membuat seorang yang sebelumnya belum terlatih dalam bisnis dan untuk menjalankannya dengan bantuan yang terus menerus atas dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya. Disamping itu, Martin Mendelson juga menyatakan bahwa waralaba format bisnis terdiri dari :
 Konsep bisnis yang menyeluruh dari pemberi waralaba
 Adanya proses permulaan dan pelatihan atas seluruh aspek pengelolaan bisnis sesuai dengan konsep pemberi waralaba
 Proses bantuan dan bimbingan yang terus menerus dari pihak pemberi waralaba.

2. Perlindungan Hukum dalam Perjanjian Lisensi HAKI dan Waralaba
Perjanjan waralaba adalah perjanjian formal. Hal tersebut dikarenakan perjanjian waralaba memang disyaratkan pada pasal (2) Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba untuk dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia. Hal ini diperlukan sebagai perlindungan bagi kedua belah pihak yang terlibat dalam perjanjian waralaba. Menurut pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah no. 42 Tahun 2007, bahwa pemberi waralaba sebelum mengadakan perjanjian dengan penerima waralaba wajib menyampaikan keterangan-keterangan antara lain mengenai, nama pihak pemberi waralaba, hak atas kekayaan intelektual, persyaratan-persyaratan, bantuan dan fasilitas, hak dan kewajiban, pengakhiran, pembatalan dan perpanjangan perjanjian. Perjanjian Lisensi dan Waralaba sebagaimana perjanjian pada umumnya harus memenuhi syarat –syarat sahnya perjanjian, yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata yaitu adanya :
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan diri
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. suatu hal tertentu
4. suatu sebab yang halal
 syarat sah (1) berkaitan dengan dengan asas kebebasan berkontrak, sehingga dalam membuat kesepakatan tidak ada unsur paksaan, kekeliruan, dan penipuan.
 Syarat sah (2) berkaitan dengan syarat kecakapan dimana dalam pasal 1330 KUHperdata dinyatakan bahwa ada 2 hal yang tergolong tidak cakap hukum yaitu :
1. orang dibawah umur
2. orang berada dibawah pengampuan
 syarat sah (3) berkaitan dengan objek hukum atau benda diperjanjikan dapat berupa benda berwujud, benda tidak berwujud, benda bergerak, atau benda tidak bergerak.
 Syarat sah (4) mengharuskan suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Perjanjian Lisensi HAKI dan Waralaba tidak boleh bertentangan dengan ketentuan UU 9/1999 Tentang perlindungan konsumen , pada pasal 18 ayat (2) UU 9/1999 menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang letak atau bentuk sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Pelarangan ini diperlukan karena dalam praktik di lapangan banyak ditemui adanya perjanjian baku yang dibuat secara sepihak oleh produsen yang dapat merugikan konsumen, karena perjanjian tersebut memuat aturan-aturan yang tidak jelas, tersembunyi, sulit dipahami, atau mengandung berbagai macam tafsir yang berpotensi menimbulkan konflik di kemudian hari.
Perjanjian Lisensi HAKI dan Waralaba tidak boleh melanggar UU 5/1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat , komisi pengawas persaingan usaha tidak sehat / KPPU, sesuai dengan pasal 35 huruf (a) memiliki tugas melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam pasal 4 sampai pasal 16. Sesuai pasal 36 huruf (I) KPPU dapat menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU 5/1999
Bahkan dalam Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan tersebut diatur mengenai kewajiban pendaftaran terhadap perjanjian waralaba dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung mulai tanggal berlakunya perjanjian waralaba, hal ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada Penerima Waralaba, ataupun Penerima Waralaba Lanjutan dari Penerima Waralaba Utama. Adapun pihak yang mempunyai kewajiban untuk mendaftarkannya adalah Penerima Waralaba / Penerima Waralaba Utama. Pendaftaran dimaksud untuk mendapatkan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba ( STPUW ). Mengenai tujuan adanya kewajiban pendaftaran kegiatana usaha waralaba, dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan kegiatan usahanya.

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Pada dasarnya waralaba merupakan salah satu bentuk pemberian lisensi, hanya saja agak berbeda dengan pengertian lisensi pada umumnya, waralaba menekankan pada kewajiban untuk menggunakan system, metode, tata cara, prosedur, metode pemasaran dan penjualan maupun hal-hal lain yang ditentukan oleh pemberi waralaba secara eksklusif, serta tidak boleh dilanggar maupun diabaikan oleh penerima lisensi. Hal ini mengakibatkan bahwa waralaba cenderung bersifat eksklusif. Seorang atau suatu pihak yang menerima waralaba tidaklah dimungkinkan untuk melakukan kegiatan lain yang sejenis atau yang berada dalam suatu lingkungan yang mungkin menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha waralaba yang diperoleh olehnya dari pemberi waralaba. Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa bisnis waralaba berkaitan erat dengan pemberian lisensi di bidang HAKI . Lisensi HAKI dalam bisnis waralaba tersebut dapat berupa gabungan dari lisensi hak merek, hak cipta, hak paten (paten produk dan/atau paten proses ), serta rahasia dagang.
2. Saran
Bagi pelaku bisnis atau investor yang akan terlibat dalam bisnis waralaba yang menjadi dasar perlindungan hukum adalah perjanjian awal antara kedua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
 Iswi Hariyani, SH., MH, Prosedur mengurus HAKI yang benar , PT. Suka Buku, 2010

 Amir Karamoy, (1997), Investasi Waralaba, Jakarta : KONTAN No. 17 Th. I, 20 Januari.

 Gunawan Widjaya, (2002), Lisensi Atau Waralaba, Suatu Panduan Praktis, Jakarta : Raja Grafindo Persada.

 Martin Mendelsohn, (1997), Franchising, Petunjuk Praktis Bagi Franchisor Dan Franchisee, Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo.

 Roeslan Saleh, (1991), Seluk Beluk Praktis Lisensi, Jakarta : Sinar Grafika.

 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.

 Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan No. 259/MPP/KEP/7/1997 tentang Ketentuan Dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Tugas Mata Kuliah:
(Hukum Perlindungan Konsumen)
Dosen Pengasuh mata kuliah:
Prof.Ny.I.C.R, Kapojos, SH. dan Dr. Wulanmas Frederik, SH.MH.
Judul Makalah :
” Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Konsumen”
Di susun oleh :
ANDRIES LATJANDU NIM 1023208066
PRATIWI LAINAWA NIM 1023208005
NOVA LAURA SASUBE NIM 10232080
MORINA SANTOSO NIM 10232080
TRI ABDY WIJAYA NIM 1023208075
CINDY RANTUNG NIM 10232080

Program Studi Pasca Sarjana
Ilmu Hukum (Hukum Bisnis)
Universitas Sam Ratulangi manado
2011

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, dengan bimbingannya Penulis dapat menyelesaikan Tugas Makalah sebagai salah satu syarat untuk dapat lulus dalam Mata Kuliah Hukum Perlindungan Konsumen dari Dosen Pengasuh mata kuliah ini, yaitu : Prof.Ny.I.C.R, Kapojos, SH. dan Dr. Wulanmas Frederik, SH.MH. Dengan Judul materi yang penulis /kelompok II angkat dalam makalah ini adalah :”Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Konsumen” Dalam penulisan judul ini dibuat dengan maksud agar dalam makalah ini penulis dan rekan-rekan mahasiswa yang membaca makalah ini dapat memahami akan tanggung jawab produk dalam artian luas dalam istilah perekonomian produk adalah suatu hasil proses dari bahan baku menjadi bahan jadi yang dapat dikomsumsi atau digunakan oleh konsmen, sedangkan produsen adalah pelaku usaha dari barang yang telah jadi. Dalam hukum di Indonesia di atur dalam Undang-ndang no. 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dalam undang-undang tersebut dalam bab I ketentuan umum pasal 1 ayat 1 perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi kepada konsumen.
Penulis menyadari bahwa makalah yang dibuat masih jauh dari kesempurnaan kiranya nanti sangat diharapkan kepada, khususnya Dosen Pengasuh mata kuliah ini, dan rekan mahasiswa dapat memberikan kritikan, saran, perbaikan untuk kesempurnaan makalah ini. Atas perhatiannya diucapkan terima kasih.
Manado,……,Oktober 2011
(Kelompok II)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, seorang konsumen bila dirugikan dalam mengkonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian itu. Pihak tersebut di sini bisa berarti :
1. produsen atau pabrik
2. supplier
3. pedagang besar
4. pedagang eceran/penjual
5. ataupun pihak yang memasarkan produk
tergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen. Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang (Tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Namun dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab produsen terhadap produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang bersifat intangible dan yang termasuk dalam pengertian produk di sini tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku cadang.
B. Perumusan masalah

Bagaimana Produsen bertanggung jawab dengan produk-produknya yang telah diproduksikan dan telah diedarkan dilihat dari aturan materiil undang-undang no.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen terutama untuk produk nyata (Tangible goods) dan (Intangible goods) tidak nyata ?
C. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif melalui kajian pustaka yang ada kaitan dengan judul dalam makalah ini. Data yang terkumpul dari berbagai sumber disusun dalam satu struktur klasifikasi kemudian dianalisa dengan mengunakan metode deskriptif yaitu memaparkan kesimpulan-kesimpulan umum yang bersumber dari hasil kajian, analisis data tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Konsumen

Tanggung jawab produk adalah istilah hukum berasal dari alih bahasa istilah product liability, yakni tanggung jawab produk disebabkan oleh keadaan tertentu produk (cacat atau membahayakan orang lain). Dengan kata lain tanggung jawab produk timbul sebagai akibat dari “product schade” yaitu kerugian yang disebabkan oleh barang-barang produk, yang dipasarkan oleh produsen. Tanggung jawab ini sifatnya mutlak (strict-liability).
(Agnes M.Toar, 1989) Biasanya prinsip ini diterapkan karena (1), Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks, (2) diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya,misal dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya, (3) Asas ini dapat memaksa produsen lebih berhati-hati. Prinsip ini biasa digunakan untuk menjerat pelaku usaha (produsen barang) yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen/ product liability Product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal: (1) melanggar jaminan, misal khasiat tidak sesuai janji, (2) Ada unsur kelalaian (negligence), lalai memenuhi standar pembuatan obat yang baik, (3) Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability), atau semua kerugian yang diderita seorang pemakai produk cacat atau membahayakan (diri sendiri dan orang lain) merupakan tanggung jawab mutlak dari pembuat produk atau mereka yang dipersamakan dengannya. Dengan diterapkannya tanggung jawab mutlak itu, produsen telah dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen akibat produk cacat yang bersangkutan (tanggung jawab tanpa kesalahan “liability without fault”), kecuali apabila ia dapat membuktikan sebaliknya bahwa kerugian itu bukan disebabkan produsen sehingga tidak dapat dipersalahkan padanya. Tujuan peraturan perundang-undangan tentang tanggung jawab produk adalah untuk menekan tingkat kecelakaan karena produk cacat; atau menyediakan saran ganti rugi bagi (korban) produk cacat yang tak dapat dihindari.
Berkenaan dengan masalah cacat (defect) dalam pengertian produk yang cacat (defective product) yang menyebabkan produsen harus bertanggung jawab dikenal tiga macam defect:
a. Production/manufacturing defects, apabila suatu produk dibuat tidak sesuai dengan persyaratan sehingga akibatnya produk tersebut tidak aman bagi konsumen.
b. Design defects, apabila bahaya dari produk tersebut lebih besar daripada manfaat yang diharapkan oleh konsumen biasa atau bila keuntungan dari disain produk tersebut lebih kecil dari risikonya.
c. Warning or instruction defects, apabila buku pedoman, buku panduan, pengemasan, etiket (labels), atau plakat tidak cukup memberikan peringatan tentang bahaya yang mungkin timbul dari produk tersebut atau petunjuk tentang penggunaannya yang aman.
Dalam hukum, setiap tuntutan pertanggung jawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggung jawab. Dasar pertanggung jawaban itu menurut hukum perdata adalah kesalahan dan risiko yang ada dalam setiap peristiwa hukum. Secara teoritis pertanggung jawaban yang terkait dengan hubungan hukum yang timbul antara pihak yang menuntut pertanggung jawaban dengan pihak yang dituntut untuk bertanggung jawab dapat dibedakan menjadi:
a. pertanggungjawaban atas dasar kesalahan, yang dapat lahir karena terjadinya wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan hukum, tindakan yang kurang hati-hati.
b. Pertanggungjawaban atas dasar risiko, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul sebagai risiko yang harus diambil oleh seorang pengusaha atas kegiatan usahanya. Sedangkan tuntutan ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat penggunaan produk, baik yang berupa kerugian materi, fisik maupun jiwa, dapat didasarkan pada beberapa ketentuan, yang secara garis besar hanya ada dua kategori, yaitu tuntutan ganti kerugian yang berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian berdasarkan perbuatan melanggar hukum.
B. Hak Konsumen dan Kewajiban Produsen
1. Hak Konsumen
Setiap individu memiliki hak dan kewajiban, demikian pula dengan konsumen dan produsen, hak dan kewajiban tersebut diatur oleh Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berikut akan dibahas lebih lanjut mengenai hak konsumen dan kewajiban produsen. Hak konsumen diatur dalam pasal 4 UU no.8 tahun 1999, yang isinya:
(a). Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa. (b). Hak untuk memilih serta mendapatkan barang dan atau jasa sesuai nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. (c). Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa.
(d). Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang digunakan. (e). Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut dan baik. (f). Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan. (g). Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminasi. (h).Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/ atau penggantian apabila barang dan/ atau jasa yang diterima tidak dengan sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. (i). Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

2. Kewajiban Produsen
Sedangkan kewajiban yang harus dipenuhi oleh produsen diatur dalam UU nomor 8 tentang Perlindungan Konsumen pasal 7, yaitu :
(a.) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
b.Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan. (c). Memperlakukan atau melayani konsumen dengan benar dan jujur serta tidak diskriminatif. (d).Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. (e). Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
(f). Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, dan pemanfaatan barang dan/ jasa yang diperdagangkan. (g). Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Berdasarkan isi Undang-undang di atas, terlihat adanya penjelasan mengenai informasi yang harus diberikan oleh produsen kepada konsumen, yaitu informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/jasa. Bila produsen mencantumkan harga yang tidak jelas atau tidak sesuai harga aktual yang harus dibayar oleh konsumen, termasuk harga yang belum termasuk PPN atau biaya service maka dalam hal ini telah terjadi pelanggaran hak konsumen oleh produsen untuk memperoleh informasi yang jelas dan benar mengenai harga yang harus dibayar oleh konsumen, serta hak untuk memilih karena dengan adanya biaya lain yang menyertai seharusnya harga yang dibayarkan akan lebih tinggi dari harga yang dicantumkan sehingga konsumen kehilangan kesempatan untuk membandingkan harga, sekaligus terjadinya pengingkaran kewajiban produsen untuk memberikan informasi yang jelas, benar, dan jujur. Ketidakjelasan informasi tersebut bertentangan dengan teori etika, yaitu teori hak dan kewajiban (deontologi), karena dalam hal ini konsumen memiliki hak untuk mengetahui dengan jelas tentang produk yang akan dibelinya dan produsen memiliki kewajiban untuk memberikan informasi mengenai produk yang dijualnya. Batasan mengenai hak dan kewajiban konsumen maupun produsen tertuang dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1999 pasal (4) dan (7 ) di atas.
C. Tanggung Jawab Produsen atau pelaku usaha
Dalam pasal 7 undang-undang no. 8 tahun 1999, Kewajiban pelaku usaha adalah:
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Dalam bab VI undang-undang no. 8 tahun 1999 tanggung jawab Pelaku usaha atau produsen diatur mengenai :
Dalam Pasal 19,
1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan
atau diperdagangkan.
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Pasal 20 Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
Pasal 21 1. Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri; 2. Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasaasing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.
Pasal 22 Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.
Pasal 23
Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
Pasal 24
1 Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila; (a). pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahanapa pun atas barang dan/atau jasa tersebut;(b). pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.
2 Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 25 (1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan. (a). Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut; (b). tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan; (2). tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
Pasal 26 Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Pasal 27 Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila: (a). Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;(b). cacat barang timbul pada kemudian hari; (c). Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;(d). Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen; (e). lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.
Pasal 28 Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.

BAB III
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Hubungan hukum antara produsen dan konsumen adalah:
 pola saluran distribusi produk
 tahapan-tahapan transaksi antara produsen dan konsumen
 tahapan pratransaksi
 tahapan transaksi (yang sesungguhnya)
 transaksi jual beli antara produsen dengan konsumen
Dari uraian dari Bab I dan II berdasarkan aturan materiil dari Undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, terdapat lima prinsip Pertanggung jawaban dalam Hukum Perlindungan Konsumen, yaitu:
1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan
2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (Pembuktian terbalik)
3 Prinsip untuk selalu tidak bertanggung jawab
4. Prinsip tanggung jawab mutlak (Strict Liability)
5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan
Tanggung Jawab Produsen
 hak dan kewajiban produsen atau pelaku usaha
 tanggung jawab produsen sebagai pelaku usaha yaitu :
 tanggung jawab publik atau konsumen secara umum
 tanggung jawab keperdataan yaitu:
 pelanggaran janji atau wanprestasi dalam hubungan kontraktual khususnya jual beli dan perbuatan melawan hukum (tort)
 kualifikasi peristiwa yang menimbulkan kerugian pada konsumen, wanprestasi dan perbuatan melawan hukum
 prinsip strict liability atau tanggung jawab mutlak (risk liability)
Saran
Berdasarkan kesimpulan kelompok kami mempunyai saran yaitu masih banyak hak-hak konsumen yang diatur dalam hukum materiil belum bisa berjalan secara efektif pada saat ini, misalnya pelayanan produk pelayanan umum, dari Perusahan Listrik Negara, Telkomsel, Perusahaan Air Minum Daerah, Penerbangan swasta dan negeri yg membatalkan atau merubah jadwal penerbangan. Dari hal-hal di atas nyata-nyata konsumen dirugikan dan bagaimana dengan aturan undang-undang perlindungan konsumen ? kami berharap kedepan hak-hak konsumen tersebut dapat terwujud.


DAFTAR PUSTAKA


 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

 (Agnes M.Toar, 1989), tanggung jawab mutlak Produsen (strict liability),

 http://kuliahade.wordpress.com/2010/01/16/perlindungan-konsumen-prinsip-tanggung-jawab/

 http://www.docstoc.com/docs/57807057/Perlindungan-Konsumen?ref=nf

2011©andrieslatjandu.blogspot.com







ANDRIES LATJANDU – NRI 1023208066
TIME LINE HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA
 Zaman  Hindia  Belanda
bahwa pertama kali diatur adalah mengenai Perikanan, mutiara, dan perikanan bunga karang, yaitu Parelvisscherij, Sponservisscherijordonantie (Stb. 1916 No. 157) dikeluarkan di Bogor oleh Gubernur Jenderal Indenburg pada tanggal 29 Januari 1916, dimana ordonansi tersebut memuat peraturan umum dalam rangka melakukan perikanan siput mutiara, kulit mutiara, teripang dan bunga karang dalam jarak tidak lebih dari tiga mil-laut inggris dari pantai-pantai Hindia Belanda (Indonesia). Yang dimaksud dengan melakukan perikanan terhadap hasil laut ialah tiap usaha dengan alat apapun juga untuk mengambil hasil laut dari laut tersebut Ordonansi yang sangat penting bagi lingkungan hidup adalah Hinder-ordonnantie (Stbl. 1926 No. 226, yang diubah/ditambah, terakhir dengan Stbl. 1940 No. 450), yaitu Ordonansi Gangguan. Di bidang perusahaan telah dikeluarkan Bedrijfsreglemenigsordonnantie 1934 (Stbl. 1938 No. 86 jo. Stbl. 1948 No. 224). Ordonansi yang penting di bidang perlindungan satwa adalah Dierenbeschermingsordonnantie (Stbl. 1931 No. 134), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1931 untuk seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia).
Berdekatan dengan ordonansi ini adalah peraturan tentang uruan, yaitu Jachtordonnantie 1931 (Stb1.1931 No.133) dan Jachtordonnantie Java en Madoera 1940 (Stb1.1940 No.733) yang berlaku untuk Jawa dan Madura sejak tanggal 1 Juli 1940.
Ordonansi yang mengatur perlindungan alam adalah Natuurhermingsordonnantie 1941 (Stbl. 1941 No. 167). Ordonansi ini mencabut ordonansi yang mengatur cagar-cagar alam dan suaka-suaka margasatwa, yaitu Natuurmonumenten en reservatenordonnantie 1932 (Stbl. 1932 No. 17) dan menggantikanya dengan Natuurbeschermingsordonnantie 1941 tersebut.

Zaman Jepang

Pada waktu zaman pendudukan Jepang, hampir tidak ada peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup yang dikeluarkan, kecuali Osamu S Kanrei No. 6, yaitu mengena larangan menebang pohon aghata, alba dan balsem tanpa izin Gunseikan. Peraturan perundang-undangan di waktu itu terutama ditujukan untuk memperkuat kedudukan penguasa Jepang di Hindia Belanda, dimana larangan diadakan untuk menjaga bahan pokok untuk membuat pesawat peluncur (gliders) yang berbahan pokok kayu aghata, alba, balsem dimana daam rangka menjaga logistik tentara, karena kayu pohon tersebut ringan, tetapi sangat kuat.








zaman Kemerdekaan
TAHUN 1971 - 1972
Pengaturan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan secara nasional baru dilakukan dalam beberapa dasawarsa terakhir ini. Sebagai langkah pertama, Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara (PAN) telah mengadakan rapat Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pencegahan Pencemaran pada tahun 1971. Sebagai tindak lanjut dari Konferensi Stockholm, Pemerintah Republik Indonesia membentuk Panitia Interdepartemental yang disebut: Panitia Perumus dan Rencana Kerja bagi Pemerintah di Bidang Pengembangan Lingkungan Hidup berdasarkan Keputusan Presiden No. 16/1972.
Pada periode ini secara bertahap muncul beberapa peraturan-peraturan antara lain :
a) UU No. 4 prp Tahun 1960 tentang perairan Indonesia;
b) UU No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan;
c) UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pokok Pertambangan

TAHUN 1972 – 1978

Sebagai tindak lanjut dari Konferensi Stockholm, Pemerintah Republik Indonesia membentuk Panitia Interdepartemental yang disebut: Panitia Perumus dan Rencana Kerja bagi Pemerintah di Bidang Pengembangan Lingkungan Hidup berdasarkan Keputusan Presiden No. 16/1972. Panitia tersebut diketuai oleh MenPan/Wakil Ketua BAPPENAS, sedang Sekretariatnya ditempatkan di LIPI..
Panitia ini berhasil merumuskan program pembangunan lingkungan dalam wujud Bab 4 dalam Repelita II berdasarkan butir 10 Pendahuluan BAB III GBHN 1973-1978. Dengan Keputusan Presi den No. 27 Tahun 1975, Pada periode ini secara bertahap muncul beberapa peraturan-peraturan antara lain :
d) UU No. 1 Tahun 1973 tentang landas Kontinen Indonesia;
e) UU No. 11 Tahun 1974 tentang pengairan;
f) UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup;
g) UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia;
h) UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan;
i) UU No. 17 Tahun 1985 tentang I Pengesahan Konvensi Hukum Laut 1982;

TAHUN 1978 – 1983

GBHN yang ditentukan oleh MPR tahun 1978 menggariskan langkah lanjut untuk pembinaan  pengelolaan lingkungan hidup. Dalam rangka aparatur lingkungan hidup telah diangkat untuk pertama kali dalam kabinet, yaitu dalam Kabinet Pembangunan IIi, seorang Menteri yang mengkoordinasikan aparatur Pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Menteri tersebut adalah Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (disingkat PPLH) yang kedudukan, tugas pokok, fungsi, dan tata kerjanya ditetapkan dengan Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1978, yang disempurnakan dengan Keputusan Presiden No. 35 Tahun 1978. Sebagai Menteri PPLH telah diangkat Prof. Dr. Emil Salim, guru besar Ekonomi pada Universitas Indonesia. GBHN yang ditetapkan MPR tahun 1983 meningkatkan pembinaan pengelolaan lingkungan hidup yang telah digariskan dalam GBHN 1978-1983. UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan

TAHUN 1983 - 1993

Dalam Kabinet Pembangunan IV (1983-1988) telah ditetapkan seorang Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Kedudukan, tugas pokok, fungsi dan tata kerjanya ditetapkan dengan Keputusan Presiden No. 25 Tahun 1983. Sebagai Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup ini telah diangkat Prof. Dr. Emil Salim. Dalam Kabinet Pembangunan V (1988-1993) Prof. Dr. Emil Salim telah diangkat kembali sebagai Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup.
UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia;
PP No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia;
 UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan;
UU No. 17 Tahun 1985 tentang I Pengesahan Konvensi Hukum Laut 1982;
UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya;
 UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;
 PP No. 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Instansi Vertikal di Daerah;
 Keputusan presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;
Keputusan presiden No. 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Peraturan
KEP-50/MENKLH/6/1987 tentang pedoman umum penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan dan lampirannya;
 Kep-51/MENKLH/6/1987 tentang pedoman umum penyusunan studi evaluasi mengenai dampak lingkungan dan lampirannya;
 Kep-52/MENKLH/6/1987 tentang batas waktu penyusunan studi evaluasi mengenai dampak lingkugnan;
 Kep-53/MENKLH/6/1987 tentang pedoman susunan keanggotaan dan tata kerja komisi.



TAHUN 1997 - 2009

UU No. 23 Tahun 1997 tentang Undang-Undang Pokok Lingkungan Hidup , juga mulai meperhatikan bagaimana untuk menjaga agar lingkungan tidak tercemar, yaitu mengeluarkan Undang-Undang yang menjaga agar bagaimana lingkungan secara dini akan terjaga dari pencemaran atas adanya proses pembangunan yaitu AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 tentang Peraturan Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, Peraturan pemerintah No. 19 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, Peraturan pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
Undang-undang no. 32 tahun 2009 tentang pokok-pokok pengelolaan lingkungan hidup









TUGAS: 01

Mata kuliah : HUKUM  BADAN  USAHA

ANDRIES  LATJANDU – 10 23 20 80 66

Apa yang dimaksud dengan konsep Corporate Governance?

Konsep corporate governance dapat didefinisikan sebagai serangkaian mekanisme untuk mengarahkan dan mengendalikan suatu perusahaan agar operasional perusahaan berjalan sesuai dengan harapan para pemangku kepentingan (stakeholders).

Apa yang dimaksud dengan Good Corporate Governance?

Good corporate governance dapat didefinisikan sebagai struktur, sistem, dan proses yang digunakan oleh organ-organ perusahaan sebagai upaya untuk memberikan nilai tambah perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka panjang.

- Baik (Good) adalah tingkat pencapaian terhadap suatu hasil upaya yang memenuhi persyaratan, menunjukkan kepatutan dan keteraturan operasional perusahaan sesuai dengan konsep CG.

- Sistem adalah prosedur formal dan informal yang mendukung struktur dan strategi operasional dalam suatu perusahaan

- Proses adalah kegiatan mengarahkan dan mengelola bisnis yang direncanakan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan, menyelaraskan perilaku perusahaan dengan ekspektasi dari masyarakat, serta mempertahankan akuntabilitas perusahaan kepada pemegang saham.

- Struktur adalah (a) susunan atau rangka dasar manajemen perusahaan yang didasarkan pada pendistribusian hak-hak dan tanggung jawab di antara organ perusahaan (dewan komisaris, direksi dan RUPS/pemegang saham) dan stakeholder lainnya, dan (b) aturan-aturan maupun prosedur-prosedur untuk pengambilan keputusan dalam hubungan perusahaan.


MENGAPA TERJADI PRIVATISASI BUMN DI INDONESIA  ?
Pemerintah Indonesia mendirikan BUMN dengan dua tujuan utama, yaitu tujuan yang bersifat ekonomi dan tujuan yang bersifat sosial. Dalam tujuan yang bersifat ekonomi, BUMN dimaksudkan untuk mengelola sektor-sektor bisnis strategis agar tidak dikuasai pihak-pihak tertentu. Bidang-bidang usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti perusahaan listrik, minyak dan gas bumi, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945, seyogyanya dikuasai oleh BUMN. Dengan adanya BUMN diharapkan dapat terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat yang berada di sekitar lokasi BUMN. Tujuan BUMN yang bersifat sosial antara lain dapat dicapai melalui penciptaan lapangan kerja serta upaya untuk membangkitkan perekonomian lokal. Penciptaan lapangan kerja dicapai melalui perekrutan tenaga kerja oleh BUMN. Upaya untuk membangkitkan perekonomian lokal dapat dicapai dengan jalan mengikut-sertakan masyarakat sebagai mitra kerja dalam mendukung kelancaran proses kegiatan usaha. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk memberdayakan usaha kecil, menengah dan koperasi yang berada di sekitar lokasi BUMN.
Namun dalam kurun waktu 50 tahun semenjak BUMN dibentuk, BUMN secara umum belum menunjukkan kinerja yang menggembirakan. Perolehan laba yang dihasilkan masih sangat rendah. Sementara itu, saat ini Pemerintah Indonesia masih harus berjuang untuk melunasi pinjaman luar negeri yang disebabkan oleh krisis ekonomi tahun 1997 lalu. Dan salah satu upaya yang ditempuh pemerintah untuk dapat meningkatkan pendapatannya adalah dengan melakukan privatisasi BUMN.
Namun demikian, privatisasi BUMN telah mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa BUMN adalah aset negara yang harus tetap dipertahankan kepemilikannya oleh pemerintah, walaupun tidak mendatangkan manfaat karena terus merugi.  Namun ada pula kalangan masyarakat yang berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu sepenuhnya memiliki BUMN, yang penting BUMN tersebut dapat mendatangkan manfaat yang lebih baik bagi negara dan masyarakat Indonesia.
Pengertian Privatisasi
Terdapat banyak definisi yang diberikan oleh para pakar berkenaan dengan istilah privatisasi. Beberapa pakar bahkan mendefinisi privatisasi dalam arti luas, seperti J.A. Kay dan D.J. Thomson sebagai “…means of changing relationship between the government and private sector”. Mereka mendefinisikan privatisasi sebagai cara untuk mengubah hubungan antara pemerintah dan sektor swasta. Sedangkan pengertian privatisasi dalam arti yang lebih sempit dikemukakan oleh C. Pas, B. Lowes, dan L. Davies yang mengertikan privatisasi sebagai denasionalisasi suatu industri, mengubahnya dari kepemilikan pemerintah menjadi kepemilikan swasta.
Istilah privatisasi sering diartikan sebagai pemindahan kepemilikan industri dari pemerintah ke sektor swasta yang berimplikasi kepada dominasi kepemilikan saham akan berpindah ke pemegang saham swasta. Privatisasi adalah suatu terminologi yang mencakup perubahan hubungan antara pemerintah dengan sektor swasta, dimana perubahan yang paling signifikan adalah adanya disnasionalisasi penjualan kepemilikan publik.
Dari berbagai definisi di atas, dapat diperoleh pengertian bahwa privatisasi adalah pengalihan aset yang sebelumnya dikuasai oleh negara menjadi milik swasta. Pengertian ini sesuai dengan yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, yaitu penjualan saham persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.
Tujuan Privatisasi
Pada dasarnya kebijakan privatisasi ditujukan untuk berbagai aspek harapan, dilihat dari aspek keuangan, pembenahan internal manajemen (jasa dan organisasi), ekonomi dan politik. Dari segi keuangan, privatisasi ditujukan untuk meningkatkan penghasilan pemerintah terutama berkaitan dengan tingkat perpajakan dan pengeluaran publik; mendorong keuangan swasta untuk ditempatkan dalam investasi publik dalam skema infrastruktur utama; menghapus jasa-jasa dari kontrol keuangan sektor publik. Tujuan privatisasi dari sisi pembenahan internal manajemen (jasa dan organisasi) yaitu
  1. Meningkatkan efisiensi dan produktivitas;
  2. Mengurangi peran negara dalam pembuatan keputusan;
  3. Mendorong penetapan harga komersial, organisasi yang berorientasi pada keuntungan dan perilaku bisnis yang menguntungkan;
  4. Meningkatkan pilihan bagi konsumen.
Dari sisi ekonomi, tujuan privatisasi yaitu
  1. Memperluas kekuatan pasar dan meningkatkan persaingan;
  2. Mengurangi ukuran sektor publik dan membuka pasar baru untuk modal swasta.
Tujuan dari segi politik yaitu :
  1. Mengendalikan kekuatan asosiasi/perkumpulan bidang usaha bisnis tertentu dan memperbaiki pasar tenaga kerja agar lebih fleksibel;
  2. Mendorong kepemilikan saham untuk individu dan karyawan serta memperluas kepemilikan kekayaan;
  3. Memperoleh dukungan politik dengan memenuhi permintaan industri dan menciptakan kesempatan lebih banyak akumulasi modal spekulasi;
  4. Meningkatkan kemandirian dan individualisme.
Adapun tujuan pelaksanaan privatisasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 74 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN adalah meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan saham Persero. Penerbitan peraturan perundangan tentang BUMN dimaksudkan untuk memperjelas landasan hukum dan menjadi pedoman bagi berbagai pemangku kepentingan yang terkait serta sekaligus merupakan upaya untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas BUMN. Privatisasi bukan semata-mata kebijakan final, namun merupakan suatu metode regulasi untuk mengatur aktivitas ekonomi sesuai mekanisme pasar. Kebijakan privatisasi dianggap dapat membantu pemerintah dalam menopang penerimaan negara dan menutupi defisit APBN sekaligus menjadikan BUMN lebih efisien dan profitable dengan melibatkan pihak swasta di dalam pengelolaannya sehingga membuka pintu bagi persaingan yang sehat dalam perekonomian.
 Metode Privatisasi
Ada beberapa metode yang digunakan oleh suatu negara untuk memprivatisasi BUMN, diantaranya adalah :
  1. Penawaran saham BUMN kepada umum (public offering of shares). Penawaran ini dapat dilakukan secara parsial maupun secara penuh. Di dalam transaksi ini, pemerintah menjual sebagian atau seluruh saham kepemilikannya atas BUMN yang diasumsikan akan tetap beroperasi dan menjadi perusahaan publik. Seandainya pemerintah hanya menjual sebagian sahamnya, maka status BUMN itu berubah menjadi perusahaan patungan pemerintah dan swasta. Pendekatan semacam ini dilakukan oleh pemerintah agar mereka masih dapat mengawasi keadaan manajemen BUMN patungan tersebut sebelum kelak diserahkan sepenuhnya kepada swasta.
  2. Penjualan saham BUMN kepada pihak swasta tertentu (private sale of share). Di dalam transaksi ini, pemerintah menjual seluruh ataupun sebagian saham kepemilikannya di BUMN kepada pembeli tunggal yang telah diidentifikasikan atau kepada pembeli dalam bentuk kelompok tertentu. Privatisasi dapat dilakukan penuh atau secara sebagian dengan kepemilikan campuran. Transaksinya dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti akuisisi langsung oleh perusahaan lain atau ditawarkan kepada kelompok tertentu. Cara ini juga sering disebut sebagai penjualan strategis (strategic sale) dan pembelinya disebut invenstor strategis.
  3. Penjualan aktiva BUMN kepada swasta (sale of government organization state-owned enterprise assets). Pada metode ini, pada dasarnya transaksi adalah penjualan aktiva, bukan penjualan perusahaan dalam keadaan tetap beroperasi. Biasanya jika tujuannya adalah untuk memisahkan aktiva untuk kegiatan tertentu, penjualan aktiva secara terpisah hanya alat untuk penjualan perusahaan secara keseluruhan.
  4. Penambahan investasi baru dari sektor swasta ke dalam BUMN (new private investment in an state-owned enterprise assets). Pada metode ini, pemerintah dapat menambah modal pada BUMN untuk keperluan rehabilitasi atau ekspansi dengan memberikan kesempatan kepada sektor swasta untuk menambah modal. Dalam metode ini, pemerintah sama sekali tidak melepas kepemilikannya, tetapi dengan tambahan modal swasta, maka kepemilikan pemerintah mengalami dilusi (pengikisan). Dengan demikian, BUMN itu berubah menjadi perusahaan patungan swasta dengan pemerintah. Apabila pemilik saham mayoritasnya adalah swasta, maka BUMN itu telah berubah statusnya menjadi milik swasta.
  5. Pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan (management/employee buy out). Metode ini dilakukan dengan memberikan hak kepada manajemen atau karyawan perusahaan untuk mengambil alih kekuasaan atau pengendalian perusahaan. Keadaan ini biasanya terkait dengan perusahaan yang semestinya dapat efektif dikelola oleh sebuah manjemen, namun karena campur tangan pemerintah membuat kinerja tidak optimal.
Dari beberapa cara tersebut, UU Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN di dalam pasal 78 hanya membolehkan tiga cara dalam privatisasi yakni :
  1. Penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal.
  2. Penjualan saham langsung kepada investor.
  3. Penjualan saham kepada manajemen dan/atau karyawan yang bersangkutan.
Pro-Kontra Mengenai Privatisasi
Sebagai sebuah kebijakan yang menyangkut kepentingan publik, program privatisasi masih disikapi secara pro dan kontra. Berikut ini akan diuraikan mengenai alasan-alasan yang menyebabkan terjadinya pro dan kontra tersebut.
Alasan-Alasan Yang Mendukung Privatisasi
a. Peningkatan efisiensi, kinerja dan produktivitas perusahaan yang diprivatisasi
BUMN sering dilihat sebagai sosok unit pekerja yang tidak efisien, boros, tidak professional dengan kinerja yang tidak optimal, dan penilaian-penilaian negatif lainnya. Beberapa faktor yang sering dianggap sebagai penyebabnya adalah kurangnya atau bahkan tidak adanya persaingan di pasar produk sebagai akibat proteksi pemerintah atau hak monopoli yang dimiliki oleh BUMN. tidak adanya persaingan ini mengakibatkan rendahnya efisiensi BUMN.
Hal ini akan berbeda jika perusahaan itu diprivatisasi dan pada saat yang bersamaan didukung dengan peningkatan persaingan efektif di sektor yang bersangkutan, semisal meniadakan proteksi perusahaan yang diprivatisasi. Dengan adanya disiplin persaingan pasar akan memaksa perusahaan untuk lebih efisien. Pembebasan kendali dari pemerintah juga memungkinkan perusahaan tersebut lebih kompetitif untuk menghasilkan produk dan jasa bahkan dengan kualitas yang lebih baik dan sesuai dengan konsumen. Selanjutnya akan membuat penggunaan sumber daya lebih efisien dan meningkatkan output ekonomi secara keseluruhan.
b. Mendorong perkembangan pasar modal
Privatisasi yang berarti menjual perusahaan negara kepada swasta dapat membantu terciptanya perluasan kepemilikan saham, sehingga diharapkan akan berimplikasi pada perbaikan distribusi pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Privatisasi juga dapat mendorong perusahaan baru yang masuk ke pasar modal dan reksadana. Selain itu, privatisasi BUMN dan infrastruktur ekonomi dapat mengurangi defisit dan tekanan inflasi yang selanjutnya mendukung perkembangan pasar modal.
c. Meningkatkan pendapatan baru bagi pemerintah
Secara umum, privatisasi dapat mendatangkan pemasukan bagi pemerintah yang berasal dari penjualan saham BUMN. Selain itu, privatisasi dapat mengurangi subsidi pemerintah yang ditujukan kepada BUMN yang bersangkutan. Juga dapat meningkatkan penerimaan pajak dari perusahaan yang beroperasi lebih produktif dengan laba yang lebih tinggi. Dengan demikian, privatisasi dapat menolong untuk menjaga keseimbangan anggaran pemerintah sekaligus mengatasi tekanan inflasi.
Alasan-Alasan Yang Menolak Program Privatisasi
Beberapa alasan yang diajukan oleh pihak yang mendukung program privatisasi sebagaimana telah dipaparkan di atas, dinilai tidak tepat oleh pihak-pihak yang kontra. Alasan bahwa privatisasi bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan kinerja perusahaan yang diprivatisasi dianggap tidak sesuai dengan fakta. Sebab jika itu yang menjadi motifnya, maka seharusnya yang diprivatisasi adalah perusahaan-perusahaan yang tidak efisien, produktivitasnya rendah dan kinerjanya payah. Sehingga dengan diprivatisasi, diharapkan perusahaan tersebut berubah menjadi lebih efisien, produktivitasnya meningkat, dan kinerjanya menjadi lebih bagus. Padahal, pada kenyatannya yang diprivatisasi adalah perusahaan yang sehat dan efisien. Jika ada perusahaan negara yang merugi dan tidak efisien, biasanya disehatkan terlebih dahulu sehingga menjadi sehat dan mencapai profit, dan setelah itu baru kemudian dijual.
Alasan untuk meningkatkan pendapatan negara juga tidak bisa diterima. Memang ketika terjadi penjualan aset-aset BUMN itu negara mendapatkan pemasukan. Namun sebagaimana layaknya penjualan, penerimaan pendapatan itu diiringi dengan kehilangan pemilikan aset-aset tersebut. Ini berarti negara akan kehilangan salah satu sumber pendapatannya. Akan menjadi lebih berbahaya jika ternyata pembelinya dari perusahaan asing. Meskipun pabriknya masih berkedudukan di Indonesia, namun hak atas segala informasi dan bagian dari modal menjadi milik perusahaan asing.
ANALISIS
Dampak  Privatisasi  BUMN di Indonesia
Dampak kebijakan privatisasi BUMN jelas terlihat pada perubahan kebijakan pemerintah dan kontrol regulasi. Dimana dapat dikatakan sebagai sarana transisi menuju pasar bebas, aktivitas ekonomi akan lebih terbuka menuju kekuatan pasar yang lebih kompetitif, dengan adanya jaminan tidak ada hambatan dalam kompetisi, baik berupa aturan, regulasi maupun subsidi. Kebijakan privatisasi dikaitkan dengan kebijakan eksternal yang penting seperti tarif, tingkat nilai tukar, dan regulasi bagi investor asing. Juga menyangkut kebijakan domestik, antara lain keadaan pasar keuangan, termasuk akses modal, penerapan pajak dan regulasi yang adil, dan kepastian hukum serta arbitrase untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya kasus perselisihan bisnis.
Dampak lain yang sering dirasakan dari kebijakan privatisasi yaitu menyebarnya kepemilikan pemerintah kepada swasta, mengurangi sentralisasi kepemilikan pada suatu kelompok atau konglomerat tertentu. Sebagai sarana transisi menuju pasar bebas, aktivitas ekonomi akan lebih terbuka menuju kekuatan pasar yang lebih kompetitif, dengan jaminan tidak ada hambatan dalam kompetisi, baik berupa aturan, regulasi maupun subsidi. Untuk itu diperlukan perombakan hambatan masuk pasar dan adopsi sebuah kebijakan yang dapat membantu perkembangan dan menarik investasi swasta dengan memindahkan efek keruwetan dari kepemilikan pemerintah. Seharusnya program privatisasi ditekankan pada manfaat transformasi suatu monopoli publik menjadi milik swasta. Hal ini terbatas pada keuntungan ekonomi dan politik. Dengan pengalihan kepemilikan, salah satu alternatif yaitu dengan pelepasan saham kepada rakyat dan karyawan BUMN yang bersangkutan dapat ikut melakukan kontrol dan lebih memotivasi kerja para karyawan karena merasa ikut memilki dan lebih semangat untuk berpartisipasi dalam rangka meningkatkan kinerja BUMN yang sehat. Hal ini dapat berdampak pada peningkatan produktivitas karyawan yang berujung pada kenaikan keuntungan.
Privatisasi BUMN di Indonesia mulai dicanangkan pemerintah sejak tahun 1980-an. BUMN-BUMN yang telah diprivatisasi seperti PT. Telkom (Persero) Tbk., PT. Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk., PT. Bank BNI 46 (Persero) Tbk., PT. Indosat (Persero) Tbk., PT. Aneka Tambang (Persero) Tbk., dan PT. Semen Gresik (Persero) Tbk., ternyata mampu membrikan kontribusi yang signifikan terhadap likuiditas dan pergerakan pasar modal.[16] Kondisi ini membuat semakin kuatnya dorongan untuk melakukan privatisasi secara lebih luas kepada BUMN-BUMN lainnya. Namun demikian, diketahui pula bahwa terdapat beberapa BUMN yang tidak menunjukkan perbaikan kinerja terutama 2-3 tahun pertama setelah diprivatisasi, misalkan pada PT. Indofarma (Persero) Tbk. dan PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Dimana target privatisasi BUMN masih belum tercapai sepenuhnya.
Selain itu, metode privatisasi yang dilakukan pemerintah pun kebanyakan masih berbentuk penjualan saham kepada pihak swasta. Hal ini menyebabkan uang yang diperoleh dari hasil penjualan saham-saham BUMN tersebut masuk ke tangan pemerintah, bukannya masuk ke dalam BUMN untuk digunakan sebagai tambahan pendanaan dalam rangka mengembangkan usahanya.
Bagi pemerintah hal ini berdampak cukup menguntungkan, karena pemerintah memperoleh pendapatan penjualan sahamnya, namun sebenarnya bagi BUMN hal ini agak kurang menguntungkan, karena dengan kepemilikan baru, tentunya mereka dituntut untuk melakukan berbagai perubahan. Namun, perubahan tersebut kurang diimbangi tambahan dana segar yang cukup, sebagian besar hanya berasal dari kegiatan-kegiatan operasionalnya terdahulu yang sebenarnya didapatnya dengan kurang efisien.
Dari segi politis, masih banyak pihak yang kontra terhadap kebijakan privatisasi  saham kepada pihak asing ini. Pasalnya, kebijakan ini dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip nasionalisme. Privatisasi kepada pihak asing dinilai akan menyebabkan terbangnya keuntungan BUMN kepada pihak asing, bukannya kembali kepada rakyat Indonesia.

 Kondisi Ideal Untuk Melakukan Privatisasi di Indonesia
Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 ayat (1), maka sistem ekonomi yang dianut Indonesia adalah sistem ekonomi yang berdasar atas asas kekeluargaan. Konsep sistem ekonomi yang demikian di Indonesia disebut sebagai konsep Demokrasi Ekonomi. Mubyarto menyebutkan bahwa dalam konsep demokrasi ekonomi, sistem ekonomi tidak diatur oleh negara melalui perencanaan sentral (sosialisme), akan tetapi dilaksanakan oleh, dari, dan untuk rakyat. Demokrasi ekonomi mengutamakan terwujudnya kemakmuran masyarakat (bersama) bukan kemakmuran individu-individu. Demokrasi ekonomi mengartikan masyarakat harus ikut dalam seluruh proses produksi dan turut menikmati hasil-hasil produksi yang dijalankan di Indonesia.
Mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, tersirat bahwa poin utama dari perekonomian Indonesia adalah kesejahteraan rakyat. Di sinilah peran demokrasi ekonomi, yaitu sebagai pemandu pengelolaan BUMN agar dapat memaksimalkan kesejahteraan rakyat. BUMN harus dapat beroperasi dengan efektif dan efisien, sehingga dapat menyediakan produk-produk vital yang berkualitas dengan harga yang terjangkau bagi rakyat. Selain itu, BUMN juga harus berupaya memperbaiki profitabilitasnya, sehingga dapat diandalkan sebagai sumber pendanaan utama bagi pemerintah, terutama untuk mendanai defisit anggarannya. Hal ini akan sangat berpengaruh pada kesejahteraan rakyat, karena BUMN tidak lain adalah pengelola sumber daya yang vital bagi hajat hidup rakyat banyak, sehingga tentu akan sangat merugikan rakyat jika BUMN jatuh bangrut atau pailit.
Praktik privatisasi BUMN yang belakangan marak dilakukan oleh pemerintah Indonesia dianggap sebagai jalan keluar yang paling baik untuk melaksanakan amanat demokrasi ekonomi untuk menyehatkan BUMN-BUMN di Indonesia dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Pada beberapa BUMN, ada yang diprivatisasi oleh pihak asing, bahkan dalam jumlah kepemilikan saham yang cukup signfikan. Privatisasi BUMN kepada pihak asing ini dinilai “menggadaikan” nasionalisme Indonesia. Selain itu, BUMN tidak lain adalah pihak yang diberikan wewenang khusus untuk mengelola sumber daya vital yang meemgang hajat hidup orang banyak. Menurut Pasal 33 UUD 1945, sumber daya yang seperti demikian itu harus dikelola oleh negara.
Dilihat dari sudut pandang Pasal 33 UUD 1945, tampak bahwa sebenarnya privatisasi BUMN kepada pihak asing agak kontradiktif dengan jiwa pasal ini. Pihak asing yang bersangkutan jelas bertindak atas nama swasta yang tentu saja bertindak dengan didorong oleh maksud dan motif hanya untuk mencari keuntungan yang maksimal. Jika demikian yang terjadi, BUMN yang diprivatisasi kepada pihak asing hanya akan menjadi keuntungan bagi pihak asing, sehingga dapat dikatakan manfaatnya akan berpindah kepada pihak asing, bukannya ke rakyat Indonesia.
Diantara sekian banyak alternatif metode privatisasi, yang paling sering digunakan antara lain adalah penawaran saham BUMN kepada umum (public offering of shares) yaitu privatisasi dengan melakukan penjualan saham kepada pihak swasta melalui pasar modal, penjualan saham BUMN kepada pihak swasta tertentu (private sale of share) yaitu penjualan saham BUMN kepada satu atau sekelompok investor swasta, dan melalui pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan (management/employee buy out) yaitu penjualan saham BUMN kepada pihak karyawan atau manajemen BUMN.
Pilihan model privatisasi mana yang sesuai dengan iklim perekonomian, politik dan sosial budaya Indonesia haruslah mempertimbangkan faktor-faktor seperti:
  1. Ukuran nilai privatisasi ;
  2. Kondisi kesehatan keuangan tiga tahun terakhir ;
  3. Waktu yang tersedia bagi BUMN untuk melakukan privatisasi ;
  4. Kondisi pasar ;
  5. Status perusahaan, apakah telah go public atau belum ; dan
  6. Rencana jangka panjang masing-masing BUMN.
Diantara tiga metode privatisasi BUMN yang sering digunakan seperti yang telah dikemukakan di atas, yang dianggap relatif sesuai dengan kondisi BUMN dewasa ini adalah penawaran saham BUMN kepada umum dan pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan. Pasalnya, dengan metode penjualan saham BUMN kepada pihak swasta tertentu berarti akan ada pemusatan kepemilikan pada satu atau sekelompok pihak  swasta saja. Hal ini kurang sesuai dengan jiwa demokrasi ekonomi yang menghendaki pemerataan kesejahteraaan. Selain itu, pemusatan kepemilikan pada satu atau sekelompok pihak atas BUMN akan sangat berbahaya jika pihak yang bersangkutan mengeksploitisir BUMN untuk kepentingan keuntungan semata.
Dengan penawaran saham BUMN kepada umum, maka kepemilikan BUMN akan jatuh ke tangan rakyat. Hal ini sesuai dengan jiwa demokrasi ekonomi. Karena dengan demikian, maka akan dapat dicapai pemerataan kesejahteraan kepada rakyat Indonesia melalui pemerataan saham pada publik. Sedangkan dengan pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan, pemerataan pun dapat dicapai. Akan tetapi, pemerataan kepemilikan hanya akan terjadi pada karyawan dan manajemen BUMN. Namun cara ini masih dianggap lebih baik daripada kepemilikan BUMN jatuh ke tangan pihak asing.
Selama ini, praktik privatisasi yang dilakukan di Indonesia masih dianggap kurang optimal. Idealnya, sebelum diprivatisasi, BUMN yang kurang sehat sebaiknya direstrukturisasi terlebih dahulu, sehinga pasca privatisasi nanti, kinerja BUMN yang bersangkutan dapat mengalami peningkatan.
Landasan hukum privatisasi juga hrus kuat, sehingga saat sebuah BUMN diprivatisasi, tidak ada lagi kontroversi yang sifatnya merugikan. Sedangkan dari segi politis, harus ada kesepahaman antara segenap rakyat, pemerintah dan para pengambil kebijakan publik, sehingga semuanya sepakat bahwa  privatisasi akan membawa dampak positif bagi kesejahteraan rakyat, sehingga kebijakan privatisasi pun didukung oleh semua pihak.
Pelaksanaan privatisasi yang belum optimal ini harus segera ditindak lanjuti. Karena sebenarnya, kebijakan ini sangat terkait dengan kebijakan publik pemerintah yang notabene akan menentukan nasib rakyat Indonesia. Padahal, jika program ini dilaksanakan dengan baik, maka akan mampu membawa dampak positif bagi semua pihak. Bagi BUMN itu sendiri, akan tercapai efisiensi dan perbaikan kinerja manejemen. Bagi pemerintah, privatisasi BUMN yang optimal akan sangat membantu dalam mendanai defisit anggaran negara, sehingga pemerintah dapat meminimalkan pinjaman luar negeri. Akhirnya bagi rakyat Indonesia, keberhasilan privatisasi BUMN akan memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan rakyat karena BUMN sebagai pengelola bidang-bidang usaha vital dapat lebih memanfaatkan sumber daya vital tersebut untuk sebaik-baik kemakmuran rakyat seperti yang tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945.
 Kesimpulan Dampak kebijakan privatisasi BUMN jelas terlihat pada perubahan kebijakan pemerintah dan kontrol regulasi seperti tarif, tingkat nilai tukar, dan regulasi bagi investor asing. Juga menyangkut kebijakan domestik, antara lain keadaan pasar keuangan, termasuk akses modal, penerapan pajak dan regulasi yang adil, dan kepastian hukum serta arbitrase untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya kasus perselisihan bisnis. Dampak lain yang sering dirasakan dari kebijakan privatisasi yaitu menyebarnya kepemilikan pemerintah kepada swasta.Diantara tiga metode privatisasi BUMN yang sering digunakan, yang dianggap relatif sesuai dengan kondisi BUMN dewasa ini adalah penawaran saham BUMN kepada umum dan pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan. Pasalnya, dengan metode penjualan saham BUMN kepada pihak swasta tertentu berarti akan ada pemusatan kepemilikan pada satu atau sekelompok pihak swasta saja. Hal ini kurang sesuai dengan jiwa demokrasi ekonomi yang menghendaki pemerataan kesejahteraaan. 




Tugas mata kuliah: Hukum Perlindungan Konsumen
ANDRIES LATJANDU  1023208066
Ringkasan UU nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
BAB I KETENTUAN UMUM
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi kepada konsumen. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dankeselamatan konsumen, serta kepastian hukum.Perlindungan konsumen bertujuan:meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari eksesnegatif pemakaian barang dan/atau jasa; meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hakhaknyasebagai konsumen; menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukumdan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumensehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatankonsumen.

BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Pertama
Hak dan Kewajiban Konsumen

Hak konsumen adalah: hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;  hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Kewajiban konsumen adalah:  membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatanbarang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Hak pelaku usaha adalah:
hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;  hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; hak untuk melakukan pembelaan diri sepatunya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Kewajiban pelaku usaha adalah: beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;  memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;  menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;  memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

BAB IV
PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan;

BAB V
KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU
 Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiapdokumen dan/atau perjanjian apabila.

BAB VI
TANGGUNG JAWAB PELAKU
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,
dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan
atau diperdagangkan.

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha sertadilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
.
BAB VIII
BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL
Nama, Kedudukan, Fungsi, dan Tugas
Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan
Konsumen Nasional.

BAB IX
LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT
Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk
berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.

BAB X
PENYELESAIAN SENGKETA
Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan, penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapaikesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentuuntuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yangdiderita oleh konsumen.

BAB XI
BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II
untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.